Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Haruskah Perempuan Korban KDRT Damai Saja dengan Pelaku Kekerasan?

Anneila Firza Kadriyanti Senin, 17 Oktober 2022
Haruskah perempuan korban kekerasan, KDRT, berdamai dengan si pelaku?
Haruskah perempuan korban kekerasan, KDRT, berdamai dengan si pelaku? Ponomariova_Maria

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Bahkan menurut U.S. Department of Health and Human Services, anak akan tumbuh sebagai abuser/offender yang menganggap penggunaan kekerasan adalah sesuatu yang wajar dalam menyelesaikan masalah.

Pelaku kejahatan KDRT adalah sosok yang sangat manipulatif.

Tidak serta-merta setelah berdamai dan mengungkapkan janji manis untuk tidak melakukan KDRT lagi, maka tindak kekerasan yang dilakukannya kepada anggota keluarganya tidak akan terulang.

Baca Juga: Berkaca dari Kasus Lesti Kejora dan Rizky Billar, Kenali 4 Fase KDRT Ini

Sebaliknya, justru seorang pelaku KDRT semakin berusaha untuk mempertahankan dominasinya kepada korban sebagai salah satu bentuk unjuk kekuatan dan kekuasaannya dalam mengontrol anggota keluarga yang dianggap lebih rendah (submissive) (The Power and Control Wheel, The Duluth Model Approach, 1980).

Tidak ada jaminan pasti yang bisa menjanjikan pelaku KDRT benar-benar menyesal dengan tindakan dan perbuatannya.

Justru potensi kembali terjadinya kejahatan kekerasan di ruang domestik malah bertambah besar.

Bila sudah begini, anak akan menjadi korban utama dari keputusan orang tua yang salah dalam membiarkan dan ‘memaklumi’ terjadinya perilaku kejahatan KDRT.

@cerita_parapuan Boikot? Ini tentang KDRT menurut kami, kalau menurut kamu? #kdrt #kekerasanan #kekerasanwanita #kdrtlesti #lesti_kejora #lesti_billar ♬ Scott Street (Slowed Down) - Phoebe Bridgers

Aksi Untuk Memutuskan Rantai KDRT

Jalan ninja yang harus ditempuh setiap korban kekerasan domestik adalah dengan melapor kepada pihak berwenang seperti polisi, atau lembaga khusus yang telah ditunjuk oleh negara untuk menanggulangi kasus KDRT seperti Komnas Perempuan, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, hingga Women Crisis Center.

Dapat juga melapor ke nomor 129 atau WhatsApp 08111129129 yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Beragam instansi lain yang dikelola secara swadaya oleh anggota masyarakat juga dapat menjadi tempat melaporkan apabila mengalami KDRT, seperti salah satunya adalah Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).

Dengan semakin banyaknya kanal yang tersedia untuk melaporkan kekerasan rumah tangga, seharusnya semakin memudahkan para korban dalam mencari keadilan. Hal itu juga sebagai salah satu cara untuk memutus mata rantai terjadinya kekerasan domestik.

Baca Juga: Berkaca dari Kasus KDRT Lesti Kejora, Ini Cara Dapatkan Visum Gratis di Jakarta

Adapun bila pelaku KDRT merupakan figur publik seperti Rizki Billar, hendaknya diterapkan pula cancel culture dengan benar-benar melarangnya tampil untuk mengisi acara hiburan di ruang media Indonesia.

Bahkan bila perlu, berhenti mengikuti (unfollow/unsubscribe) akun media sosial sang pelaku kejahatan KDRT.

Penerapan cancel culture ini dilakukan agar publik menyadari betapa KDRT merupakan kejahatan luar biasa yang dapat berdampak luar biasa negatif terhadap korban, seperti mengalami kekerasan fisik dan psikis yang bisa mengakibatkan trauma berkepanjangan dan memperburuk kesehatan mental korban.

Jika media dan audiens masih memberikan kesempatan pada penjahat KDRT seperti Rizki Billar untuk tampil di ruang publik, maka akan muncul pemakluman bahwa kejahatan KDRT adalah perilaku yang lumrah dan bukan masalah serius.

Ayo laporkan KDRT!
Cancel culture para penjahat KDRT! (*)