Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Saat Perempuan Mempertaruhkan Kesehatan Mental di Zaman Digital

Dr. Firman Kurniawan S. Senin, 10 Oktober 2022
Di zaman digital, era media sosial, ini, jangan sampai kesehatan mental kita jadi taruhannya, Kawan Puan.
Di zaman digital, era media sosial, ini, jangan sampai kesehatan mental kita jadi taruhannya, Kawan Puan. lerbank

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Respon orang lain ini membangun ilusi rasa dikagumi, dihargai bahkan diinginkan. Seluruhnya adalah bentuk penerimaan orang lain terhadap diri pengunggah konten.

Otak yang merespon rasa penerimaan, memicu dihasilkannya jenis reaksi kimia yang sama dengan saat dikonsumsinya obat-obatan golongan narkotika.

Nyata ketika hal tersebut dibandingkan, produksi dopamin sebagai hasil interaksi dengan media sosial identik dengan dialirkannya dopamin melalui jarum suntik, langsung ke dalam sistem saraf. Dopamin yang dihasilkan, menimbulkan rasa senang.

Tentu saja terhadap kesenangan yang ditimbulkan, pengunggah ingin mengalaminya kembali. Keinginan mengulang kembali rasa yang pernah dialami ini, menciptakan rasa ketergantungan yang kian meningkat.

Manifestasinya, penggunaan media digital yang kian intensif. Dan sebaliknya, saat rasa ingin memperoleh kembali kesenangan itu tak terpenuhi, timbul rasa sakit mental akibat absennya dopamin.

Produksi dopamin, terus menerus jadi jalan keluar menghindari rasa sakit. Dalam kondisi tak terkendali, Shah memberi jalan keluar, digital detox.

Baca Juga: Ini 5 Cara Mudah Melakukan Detoks Digital, Bisa Bikin Lebih Rileks!

Memulihkan Kesehatan Mental

Uraian Shah berikut saran digital detox-nya, sesuai uraian “classical conditioning” Ivan Petrovich Pavlov, seorang ahli psikologi perilaku Rusia.

Pavlov melakukan eksperimennya pada tahun 1890-an. Eksperimen dilakukan pada anjing untuk memunculkan perilaku tertentu.

Untuk mencapai itu, Pavlov mengaitkan antara munculnya rasa ingin pada daging, yang ditandai oleh terbitnya air liur anjing. Air liur terbit sesaat setelah dibunyikannya bel, tanda akan diberikannya daging.

Di tahap awal, setiap daging akan diberikan bel dibunyikan. Ini kemudian diikuti pemberian daging pada anjing. Demikian seterusnya.

Keadaan berulang ini menciptakan kondisi pada anjing, setiap bel dibunyikan, terbit air liurnya. Bunyi bel adalah tanda segera hadirnya daging yang lezat untuk dikonsumsi. Sehingga pada kondisi tak diberikan daging tapi bel dibunyikan, air liur anjing tetap terbit.

Ini artinya, perilaku dapat dikondisikan melalui rangsangan. Maka untuk menghentikannya, rangsangan itu pula yang dikendalikan.

Manusia dalam konteks tertentu, mengikuti mekanisme classical conditioning ini. Hal ini berdasar pengalaman mental, yang memicu kemunculan reaksi kimia pada otak manusia.

Banyak hal yang dapat memicu munculnya produksi kimia otak, penghasil rasa senang. Karenanya, mengacu pada eksperimen Pavlov, munculnya perilaku tertentu terjadi akibat rangsangan yang berulang. Rangsangan berulang akibat kesenangan oleh penggunaan media digital, salah satunya.

Namun, terhadap media digital yang justru siklusnya tak berujung dan mempengaruhi kesehatan mental, perlu dicari sumber rangsangan lain, sebagai pengganti.

Digital detox untuk mengalihkan kecanduan, dilakukan seraya menemukan sumber produksi dopamin lain. ~Atau sama sekali putus dari penggunaan media digital, sebagaimana argumen Jaron Larnier. Namun tentu saja ini terlalu radikal, di tengah zaman digital~.

Lewat digital detox, penggunaan media digital dikendalikan. Tentu perlu pengganti yang tak timbulkan kecanduan baru.

Media digital tetap digunakan terkendali. Ini agar tak mempertaruhkan kesehatan mental, terutama pada kelompok perempuan yang lebih rentan. Apa artinya kesenangan, dalam pertaruhan degradasi kesehatan mental? Ini pertimbangan serius di zaman digital.

Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia, Kawan Puan. (*)