Kisah Monique Hardjoko Berupaya Lestarikan Wastra Nusantara Melalui Rasa Wastra Indonesia

Ardela Nabila - Selasa, 4 Oktober 2022
Monique Hardjoko, founder Rasa Wastra Indonesia.
Monique Hardjoko, founder Rasa Wastra Indonesia. Dok. Ardela Nabila/PARAPUAN

Parapuan.co - Berawal dari kecintaannya terhadap kain-kain yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Monique Hardjoko menceritakan awal mula kisahnya mendirikan Rasa Wastra Indonesia.

Rasa Wastra Indonesia merupakan ruang rasa yang dimanfaatkan untuk menuangkan semua ide gagasan dan pemahaman tepat terhadap budaya, khususnya kain tradisional Nusantara dan semua cerita di baliknya.

Lewat platform yang berdiri sejak tahun 2020 itu, Monique ingin dapat membagikan pengetahuannya seputar wastra Indonesia yang kaya akan makna dan cerita di baliknya.

“Rasa Wastra Indonesia itu ruang sharing dan edukasi bagaimana agar orang-orang itu bisa mencintai budaya, khususnya wastra Nusantara dengan berbagai kekayaan. Tidak hanya sekadar gayanya, tetapi bisa memiliki pemahaman, makna, cerita, proses, dan semua di baliknya,” ujar Monique saat ditemui di Jakarta, Jumat (30/9/2022).

Kepada PARAPUAN, perempuan yang juga merupakan General Manager di Damai Putra Group itu bercerita bagaimana Rasa Wastra Indonesia bisa terbentuk.

Sebelum mendirikan ruang edukasi ini, Monique sendiri sudah lama menjadi kolektor dan pegiat kain tradisional Indonesia.

Ia bahkan mengaku sudah memiliki ribuan koleksi kain yang tak hanya sekadar dibeli karena keindahannya, namun juga karena makna di baliknya.

“Awalnya karena saya sendiri pemakai, kolektor, pegiat (wastra Nusantara), begitu sudah punya ribuan koleksi, ini kalau di saya sendiri sayang. Kalau dipikir-pikir, saya saja yang tidak punya background keluarga perajin batik atau kolektor wastra saja bisa tiba-tiba tertarik, sebetulnya semua orang bisa seperti saya,” cerita ibu dua anak itu.

Baginya, memahami makna mendalam di balik motif-motif kain tradisional Indonesia merupakan salah satu cara mengapresiasi warisan budaya ini.

Baca Juga: Franka Franklin, Istri Nadiem Makarim yang Merupakan Seorang CEO

“Karena setiap kali saya mengadopsi batik, songket, ataupun tenun itu saya harus tahu apa namanya, motifnya dari mana, maknanya apa. Karena saya mengapresiasi kain-kain ini seperti saya mengapresiasi karya seni lainnya. Itulah yang sebetulnya ingin saya tuangkan ke teman-teman,” ungkap ibu dua anak itu.

Seiring dengan berkembangnya Rasa Wastra Indonesia, ia pun mulai dikenal dan mengajak kolektor kain tradisional lainnya untuk ikut memamerkan koleksinya.

“Terus akhirnya berkembang, mulai diundang untuk sharing, orang-orang mulai kumpul dan minta diajarkan styling dari kain wastra Indonesia. Lalu aku kepikiran untuk mengekspos juga kolektor lainnya, jadi muncullah Ruang Rasa Pamer Karya dan Kreasi,” ujar Monique.

Lewat program tersebut, Monique juga tak lupa membagikan informasi seputar motif hingga cerita di balik kain-lain yang dipamerkan, baik kepada kolektor ataupun pegiat wastra Indonesia lainnya.

Tantangan dalam Mengedukasi seputar Wastra Indonesia

Berupaya untuk melestarikan kain tradisional lewat Rasa Wastra Indonesia, dalam perjalanannya perempuan lulusan jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu tak lepas dari berbagai tantangan.

Salah satunya adalah bagaimana ia dapat terus memberikan pemahaman mengenai tradisi di balik setiap wastra Nusantara.

“Kalau buat saya lebih ke bagaimana bisa secara continuously dan berkesinambungan secara terus-menerus tidak boleh menyerah untuk menyisipkan pemahaman mengenai wastra Nusantara itu sendiri,” pungkasnya.

Meskipun belakangan ini di kalangan generasi muda tren berkain untuk aktivitas sehari-hari tengah diminati, namun tak bisa dimungkiri bahwa tak sedikit mereka yang tidak memahami proses di balik wastra yang mereka kenakan.

Baca Juga: Profil Catherine Wilson, Pernah Jadi Bintang Iklan di Luar Negeri

Monique ingin para anak muda tersebut untuk memakai wastra Indonesia asli yang dibuat dengan proses tradisional yang memiliki value sekaligus menjadi upaya untuk melestarikan tradisi yang sudah ada sejak dulu.

“Jadi enggak hanya tekstil yang di-print kemudian dibilang batik, tenun, atau kain lainnya. Kan, ini sayang. Berkain itu tradisi orang Indonesia, jadi berkainlah dengan kain-kain Indonesia,” tegasnya.

Menurutnya, anggapan bahwa kain-kain yang dibuat melalui proses tradisional memiliki harga yang mahal itu perlu dihilangkan, sebab faktanya tak sedikit kain-kain tersebut yang dijual dengan harga terjangkau.

“Kain-kain Indonesia itu yang bikinan tangan itu juga banyak yang murah, sama kayak brand fashion luar negeri harganya. Bahkan satu kain batik itu bisa dipakai untuk berbagai macam gaya, mulai dari atasan, bawahan, outer, obi belt, dan lainnya,” ujar Monique lagi.

Monique berharap para pelaku kreatif dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) ke depannya bisa terus melestarikan tradisi guna mewariskan budaya Indonesia yang satu ini.

“Jadi tradisinya itu yang harus dijaga. Bisnis yang membawa wastra Nusantara itu seharusnya seperti itu. Meski itu pilihan, tapi harapannya para pelaku kreatif atau UMKM paling tidak membawa tradisinya dari sisi paling tidak proses,” tambahnya.

Lebih jauh, Monique Hardjoko juga ingin para generasi muda yang mengikuti tren berkain untuk turut memahami secara lebih dalam makna atau cerita di balik wastra yang dikenakannya.

“Kalau sekarang saya lebih menargetkan anak-anak muda, sebab ada opportunity di mana ketika anak-anak muda itu sudah mulai cinta berkain, tinggal di-balance bagaimana mereka tidak hanya sekadar senang berkain, tapi bisa masuk ke area di mana mereka juga bisa mencintai wastra dengan sedikit pemahaman lebih dalam,” kata Monique. 

Baca Juga: Perjalanan Karier Lesti Kejora, Sukses Jadi Pedangdut di Usia Muda

(*)