Tradisi Beli Baju Baru Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial, Begini Sejarahnya

Firdhayanti - Senin, 2 Mei 2022
Membeli baju baru untuk Lebaran.
Membeli baju baru untuk Lebaran. Edwin Tan

Parapuan.co - Menyambut lebaran, tradisi membeli baju baru merupakan hal yang melekat pada kebiasaan orang Indonesia. 

Banyak orang membeli baju baru untuk di pakai di Hari Raya Idulfitri. 

Lantas, bagaimana asal muasal tradisi membeli baju baru di Indonesia?

Dilansir dari Historia, tradisi membeli pakaian baru menjelang Lebaran dan memakainya sudah cukup lama ada di Indonesia. 

Berdasarkan bukti yang ada, tradisi konsumtif tersebut sudah ada sejak jaman kolonial. 

Bukti tersebut terdapat  dalam catatan Snouck Hurgronje, Penasihat Urusan Pribumi untuk Pemerintah Kolonial, mencatat kebiasaan ini pada awal abad ke-20.

“Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulis Snouck dalam suratnya yang dimuat dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936 Jilid IV. 

Dalam buku Islam di Hindia Belanda, Snouck juga menyatakan kebiasaan bertamu pada Idulfitri dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan pada perayaan tahun baru Eropa.

Tradisi membeli baju baru paling banyak dilakukan oleh masyarakat Batavia pada saat itu, sesuai dengan surat Snouck pada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904. 

Baca Juga: Ini 5 Rekomendasi Baju Lebaran dengan Sentuhan Wastra Indonesia

"Lebih banyak uang dikeluarkan di Betawi dibandingkan dengan kebanyakan tempat lain karena pembelian petasan, pakaian, dan makanan pada hari Lebaran," tulisnya.

Saat itu, pembelian pakaian baru memakan banyak biaya bagi anak negeri dan sempat dikritik oleh dua pejabat kolonial, Steinmetz, Residen Semarang dan De Woldd, pejabat Hinda Belanda yang menyebut sebagai "sumber bencana ekonomi".

Alasannya, dua pejabat itu keberatan karena bupati dan pamongpraja bumiputra ikut menggunakan dana pemerintah dalam membeli pakaian baru. 

Untuk rakyat jelata yang berbeda dengan pejabat bumiputra, pilihan pakaian dalam membeli pakaian baru lebih terbatas.

"Pakaian Barat ditabukan bagi banyak orang, jika ada pengecualian maka ini berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda," tulis Kees van Dijk dalam Saryng, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi yang dimuat dalam Outward Appeareances. 

Kebebasan rakyat jelata baru hadir disaat memasuki tahun 1900 dan berimbas pada pertumbuhan industri tekstil di Hindia Belanda, dengan mode dan pasar yang lebih banyak.

Dalam hal ini, banyak orang tua yang membelikan pakaian baru untuk anak-anaknya serta orang-orang yang membeli pakaian untuk pasangannya masing-masing.

Pada masa pendudukan Jepang, tradisi membeli baju baru menjadi lebih tersendat. 

Pasalnya rakyat memiliki cukup uang namun barang-barang menjadi langka. 

Baca Juga: Modis, Ini 5 Rekomendasi Kaftan Model Terbaru untuk Baju Lebaran

Selama masa ini, orang membeli barang dengan pakaian bekas karena susah memperoleh pakaian baru. 

Jelang lebaran di masa itu, orang pun banyak mengenakan pakaian lama. 

Namun, sejumlah orang yang bekerja untuk Jepang kerap mendapat pembagian tekstil. 

"Pembagian tekstil bagi pegawai ada kalau hari raya, hari lebaran. Jadi yang mau bekerja sama Jepang hidupnya makmur," kata Barkah Alganis Baswedan dalam Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya. 

Namun, setelah Indonesia merdeka dan keadaan menjadi normal, tradisi membeli baju baru terus berlanjut hingga saat ini. 

Nah, apakah Kawan Puan juga mengikuti tradisi membeli baju baru di lebaran tahun ini? (*)

Sumber: Historia
Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh