Tak Semua Bisa Ikuti Persalinan Nagita Slavina, Ibu Hamil dengan Kondisi Ini Tak Boleh Jalani Metode ERACS

Maharani Kusuma Daruwati - Sabtu, 27 November 2021
Nagita Slavina melahirkan dengan metode ERACS
Nagita Slavina melahirkan dengan metode ERACS Instagram/raffinagita1717

Parapuan.co - Kebahagiaan kini kian dirasakan oleh pasangan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.

Perempuan yang akrab disapa Gigi ini baru saja melahirkan anak keduanya pada Jumat (26/11/2021).

Perempuan 33 tahun ini melahirkan melalui proses operasi caesar.

Namun, pemulihan Nagita pun terbilang sangat cepat hingga sudah bisa langsung duduk pascaoperasi.

Hal ini karena ternyata dirinya menjalani operasi caesar dengan metode ERACS atau Enhanced Recovery After Cesarean Surgery.

Baca Juga: Bisa Langsung Duduk dan Cepat Pulih, Kenali Metode Persalinan ERACS Seperti yang Dijalani Nagita Slavina

Di mana metode ERACS ini memungkinkan pasiennya untuk mendapatkan pemulihan dengan cepat.

Mengutip dari Kompas.com, metode ini pertama kali diperkenalkan di Inggris pada 2013 silam.

Belakangan metode ini pun mulai populer di Indonesia dan banyak digunakan oleh para selebriti saat melahirkan.

Seperti halnya yang dilakukan Nagita Slavina dan beberapa artis layaknya Paula Verhoeven, Felicya Angelista, dan Cherly Juno belum lama ini.

Menurut penjelasan spesialis kebidanan dan kandungan dr Zeissa Rectifa Wismayanti, Sp.OG., metode ERACS adalah penyempurnaan langkah-langkah tindakan operasi sebelumnya.

Pasien yang melahirkan dengan metode ERACS yang digadang-gadang memiliki proses pemulihan yang lebih cepat, tak perlu menunggu 24 jam agar bisa duduk.

 

Selain itu, Kawan Puan juga bisa mendapat beberapa manfaat dari metode ERACS ini.

Melahirkan menggunakan metode ERACS bisa meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pasien.

"Pasien bisa mobilisasi lebih cepat, bisa bergerak lebih awal, nyerinya minimal, pasti akan lebih nyaman," terang dr. Zeissa.

Pasien juga tak perlu berlama-lama di rumah sakit alias dapat mengurangi lama waktu rawat di rumah sakit.

Bahkan beberapa di antaranya sudah bisa pulang setelah satu hari persalinan.

Metode ini juga disebut mengurangi risiko adanya komplikasi.

Di sisi lain, metode ERACS digunakan berdasarkan bukti-bukti terkini dan dilakukan oleh tim multidisipliner seperti spesialis kandungan, spesialis anak, ahli anestesi, dan perawat yang mengoptimalkan pemulihan pasca operasi sesar.

Baca Juga: Nagita Slavina Lahirkan Anak Kedua, Ini Perawatan Rumahan untuk Pulihkan Tubuh Setelah Operasi Caesar

"Dari penelitian, setelah dilakukan metode ERACS ini pada pasien post caesar kebutuhan obat opioid dan lama rawat berkurang. Obat opioid ini termasuk salah satu obat anti nyeri yang efeknya cukup baik. Namun efek sampingnya pasien lebih sering kembung dan konstipasi," tambahnya.

Tak semua bisa mejalani metode ERACS

Meski memiliki banyak manfaat dan kemudahan untuk pasien, namun ternyata metode ini tak bisa digunakan untuk semua orang.

Ada orang dengan kondisi tertentu yang tidak diperkenankan menjalani metode ini.

"ERACS ini adalah panduan umum, memang belum tentu bisa dilakukan pada setiap pasien. Nanti kita (dokter) nilai dulu di trimester 3 atau menjelang persalinan apakah layak dilakukan ERACS atau tidak," jelas dr Zeissa.

Ia menyebut ada beberapa kondisi yang tidak memungkinkan bagi ibu hamil untuk bersalin dengan metode ERACS.

Lantas, siapa saja yang tak boleh bersalin menggunakan metode ERACS ini?

Baca Juga: Nagita Slavina Ungkap Alasan Pilih Melahirkan Anak Kedua Secara Caesar

Motode ini tak diperkenakan digunakan di antaranya jika ibu mengalami beberapa kondisi berikut:

  • preeklamasia,
  • tekanan darah tidak terkontrol,
  • eklamasia,
  • anemia berat,
  • diabetes tidak terkontrol,
  • pasien dengan gangguan kecemasan tinggi.

Tak sembarang orang bisa, maka sebaiknya Kawan Puan lebih baik memeriksakan kondisi dan mengonsultasikannya dengan dokter kandungan sebelum persalinan.

"Konsultasikan dengan dokter kandungan ibu masing-masing untuk persiapan melahirkan dengan panduan ERACS," sarannya.

(*)

 

Usia Sampai Gaya Hidup Jadi Faktor Risiko Pneumonia pada Orang Dewasa