Tak Berbuat Apa-apa Saat Lihat Kekerasan pada Perempuan, Pahami Fenomena Bystander Effect

Putri Mayla - Rabu, 20 Oktober 2021
Psikolog ungkap fenomena bystander effect, yakni tak melakukan apa-apa saat melihat kekerasan pada perempuan.
Psikolog ungkap fenomena bystander effect, yakni tak melakukan apa-apa saat melihat kekerasan pada perempuan. Photo by Keira Burton from Pexels

sinonim keyword di page 1 nya mana ya?

Parapuan.co - Kekerasan pada perempuan merupakan persoalan kompleks yang kini kian marak terjadi.

Terlebih lagi, kekerasan ini dapat memberikan efek secara mental kepada penyintas.

Selain itu, biasanya korban kekerasan kesulitan melapor atau mendapatkan bantuan terkait apa yang dialaminya.

Seperti pelecehan yang terjadi di komuter di luar kota Philadelphia, Amerika Serikat.

Baca Juga: Saat Mengetahui Kekerasan pada Perempuan, Lakukan 5 Hal Berikut

Kekerasan pada perempuan secara seksual yang terjadi di Philadelphia ini membuat orang-orang di sekitarnya tidak melakukan tindakan menolong korban. 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by VOA Indonesia (@voaindonesia)

Melansir dari Instagram resmi @voaindonesia, terdapat seorang laki-laki didakwa memerkosa seorang perempuan di dalam kereta komuter di luar kota Philadelphia, AS.

Terdakwa melakukan pelecehan terhadap korban selama lebih dari 40 menit.

Saat kejadian, penumpang lainnya dilaporkan mengarahkan handphone untuk merekam pelecehan tersebut, alih-alih mengambil tindakan untuk menghentikan kejadian.

Dalam unggahan tersebut, pakar psikologi Prof. Elizabeth Jeglic mengatakan bahwa fenomena ini disebut sebagai bystander effect.

Saat melihat pelecehan seksual terhadap perempuan, orang-orang di sekitar tidak melakukan tindakan untuk menolong korban.

Terkait fenomena bystander effect yang berkaitan dengan kekerasan pada perempuan di komuter luar kota Philadelphia, berikut pengertian bystander effect.

Apa itu Bystander Effect?

Melansir dari Verywellmind, istilah bystander effect mengacu pada fenomena di mana semakin besar jumlah orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan orang untuk membantu seseorang dalam kesulitan.

Ketika situasi darurat terjadi, pengamat lebih mungkin untuk mengambil tindakan jika ada sedikit atau tidak ada saksi lain.

Saat menjadi bagian dari kerumunan besar membuatnya jadi tidak ada satu orang pun yang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan (atau kelambanan).

Dalam serangkaian studi klasik, peneliti Bibb Latané dan John Darley waktu yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan menolong korban.

Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan, 3 Cara Jadi Support System untuk Penyintas

Mereka menemukan bahwa jumlah waktu yang dibutuhkan peserta untuk mengambil tindakan dan mencari bantuan bervariasi tergantung pada berapa banyak pengamat lain di dalam ruangan.

Dalam satu percobaan, subjek ditempatkan dalam salah satu dari tiga kondisi perlakuan.

Sendirian di sebuah ruangan, dengan dua peserta lain, atau dengan dua konfederasi yang berpura-pura menjadi peserta normal.

Saat para peserta duduk mengisi kuesioner, asap mulai memenuhi ruangan.

Ketika peserta sendirian, 75% melaporkan asap tersebut kepada para peneliti.

Sebaliknya, hanya 38% peserta di sebuah ruangan dengan dua orang lainnya melaporkan asap.

Hal ini juga hampir mirip dengan kejadian pelecehan seksual yang terjadi di komuter Philadelphia.

Di mana pengamat tak langsung menolong korban.

Pada kelompok terakhir, dua konfederasi dalam percobaan mencatat asap dan kemudian mengabaikannya, yang mengakibatkan hanya 10% dari peserta yang melaporkan asap tersebut.

Eksperimen tambahan oleh Latané dan Rodin (1969) menemukan bahwa 70% orang akan membantu seorang perempuan dalam kesusahan ketika mereka adalah satu-satunya saksi.

Tetapi hanya sekitar 40% yang menawarkan bantuan ketika orang lain juga hadir.

Ada dua faktor utama yang berkontribusi pada bystander effect.

Pertama, kehadiran orang lain menciptakan difusi tanggung jawab.

Karena ada pengamat lain, individu tidak merasakan banyak tekanan untuk mengambil tindakan.

Tanggung jawab untuk bertindak dianggap dibagi di antara semua yang hadir.

Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan di Ruang Publik, Kenali Bentuk-bentuknya

Alasan kedua adalah kebutuhan untuk berperilaku dengan cara yang benar dan dapat diterima secara sosial.

Ketika pengamat lain gagal bereaksi, individu sering menganggap ini sebagai sinyal bahwa respons tidak diperlukan atau tidak sesuai.

Saat menghadapi situasi yang membutuhkan tindakan, pahami bagaimana efek pengamat mungkin menahan seseorang dan secara sadar mengambil langkah untuk mengatasinya.

Namun, ini tidak berarti kamu harus menempatkan diri dalam bahaya.

Tetapi bagaimana jika kamu adalah orang yang membutuhkan bantuan?

Bagaimana kamu bisa menginspirasi orang untuk membantu?

Salah satu taktik yang sering direkomendasikan adalah memilih satu orang dari kerumunan.

Hal ini mungkin bisa dilakukan saat melihat kekerasan pada perempuan agar tidak terjadi fenomena bystander effect.

(*)

 

Sumber: verywellmind
Penulis:
Editor: Maharani Kusuma Daruwati