Performative Workaholism, Gaya Hidup Pekerja yang Suka Pamer Kesibukan

Tentry Yudvi Dian Utami - Sabtu, 25 September 2021
Performative workaholism merupakan gaya kerja yang tidak sehat.
Performative workaholism merupakan gaya kerja yang tidak sehat. aldomurillo

Parapuan.co - Dulu, istilah workaholic atau penggila kerja dianggap gaya hidup yang tidak sehat.

Sebab, mereka hanya kerja, kerja, dan kerja saja, bahkan untuk menyeimbangkan hidupnya juga jarang dilakukan.

Tapi, coba lihat diri kita sekarang. Deadline menumpuk, pekerjaan terus datang tanpa henti, bahkan jam kerja bisa sampai 16 jam, rasanya tak masalah.

Justru, kadang kita bangga dengan segudang kesibukan kita dalam pekerjaan sehingga tak jarang banyak memamerkan pekerjaan di media sosial.

Lini masa kita atau pun orang lain penuh tentang pekerjaan, seperti tidak ada kehidupan lain selain pekerjaan.

Baca Juga: Ini 5 Perusahaan Indonesia yang Masuk LinkedIn Top Startups 2021

Melansir New York Times, banyak orang sekarang malah menjadikan workaholic ini sebagai gaya hidup, yang disebut performative workaholism.

Orang ingin memamerkan kesibukan mereka di media sosial atau pun teman-teman mereka, karena tidak ingin dianggap pemalas.

Melansir Kinetix, gaya hidup pekerja seperti itu termasuk ke dalam hustle culture.

Hustle culture merupakan istilah yang menggambarkan motivasi untuk orang bekerja lebih demi meraih kesuksesan.

Pegila kerja ini biasanya memang suka pamer di media sosial betap sibuknya pekerjaan mereka, inilah yang termasuk ke dalam performative workaholism.

Memang tidak ada yang salah untuk menjadi pekerja yang performative workaholism.

Tapi, motivasi untuk kerja terus menerus akhirnya membuat kita menjadi burnout

Burnout ini sering dilanda oleh si pencita kerja sehingga mereka pun bisa membahayakan kesehatan dirinya, bahkan psikologi dirinya sendiri.

Menurut penulis It Doens't Have to Be Crazy at Work, David Heinemeier Hansson and Jason Fried, bekerja dengan jangka waktu yang lama bisa membuat kreativitas justru tidak muncul.

Tak hanya itu, performative culture ini juga akan membuat produktivitas justru tidak meningkat. 

 

Rentan Terkena Eksploitasi

Kawan Puan, melansir New York Times, hustle culture dan perfomartive workaholism justru membuat kita jadi rentan mengalami ekploitasi.

Menurut David, bekerja berlebih akhirnya tidak membuat kita pun jadi kaya, justru kita membantu sekelompok elit untuk meraih kekayaan. "Ini sangat suram dan mudah dieksplotasi," jelasnya.

Sayangnya, budaya ini bermula dari industri teknologi, di mana ketika Google terbiasa memberikan makanan, pijat, bahkan dokter untuk pekerja. 

Tunjangan itu dimaksudkan untuk membantu perusahaan menarik bakat terbaik dan membuat karyawan tetap berada di meja mereka lebih lama.

Baca Juga: Cerita Raden Sasnatya Soal Menariknya Bekerja Sebagai Interpreter

Dan, tentunya gaya hidup ini tidak sehat.

Bahkan, melansir Kompas.com, hustle culture bisa menyebakan seseorang tidak sehat hingga berujung kematian.

"Tren hustle culture ini hampir dialami oleh sebagian besar pekerja di berbagai perusahaan, terutama kalangan fresh graduate.

Tuntutan kebutuhan hidup yang banyak mengharuskan mereka bekerja lebih keras supaya mendapatkan penghasilan besar meskipun mengesampingkan kesehatan diri sendiri," ujar Graheta Rara Purwasono, M.Psi, seperti dikutip Kompas.com dari keterangan tertulis.

Waduh, semoga kita bisa menyeimbangkan hidup ya!(*)