Ada Perubahan dalam 85 Pasal Draf RUU PKS, Ini Tanggapan KOMPAKS

Firdhayanti - Jumat, 3 September 2021
Dorongan pengesahan RUU PKS.
Dorongan pengesahan RUU PKS. Jumbojan, Freepik

Parapuan.co - Pengesahan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kini tengah memasuki babak baru. 

Setelah didaftarkan pada 17 Desember 2019 dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024, muncul draf baru RUU PKS yang disusun oleh Badan Legislatif DPR RI (BALEG). 

Akan tetapi terdapat 85 pasal yang dipangkas dan beberapa perubahan dalam draf RUU PKS versi Baleg DPR ini. 

Baca Juga: Jadwal dan Lokasi Vaksinasi dengan Vaksin Pfizer di Jakarta 8-9 September

Dalam RUU PKS versi Baleg DPR RI, terminologi 'penghapusan' dalam judul pun telah dihapus dan namanya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

Hilangnya terminologi tersebut menitikberatkan pada penindakan tindak pidana dan bukan menghapus kekerasan seksual. 

Perubahan tersebut mengabaikan unsur kepentingan korban seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum.  

Hal itu membuat Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menyesalkan perubahan terhadap draf RUU PKS dari Baleg DPR. 

Draf baru RUU PKS berimbas pada substansi pasal-pasal di dalamnya yang justru menunjukkan kurangnya komitmen negara dalam penanganan asus kekerasan seksual beserta kompleksitasnya secara komprehensif. 

Berbagai ketentuan penting yang sebelumnya diusulkan oleh perwakilan masyarakat sipil dan organisasi perempuan melalui naskah akademik dan naskah RUU PKS pada september 2020 telah dihilangkan. 

“Sebagai masyarakat sipil kita perlu menguatkan kembali solidaritas kita pada korban kekerasan seksual dengan mendesak BALEG DPR RI untuk menyesuaikan materi RUU PKS dengan kebutuhan korban,” seru Naila, selaku perwakilan KOMPAKS, seperti dalam siaran pers yang diterima PARAPUAN. 

Berikut ini merupakan substansi yang hilang dalam Draf baru RUU PKS dari Baleg DPR RI : 

1. Hilangnya Jaminan Hak, Pemulihan, dan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual 

RUU PKS hadir dengan tujuan untuk menjawab kebutuhan korban akan jaminan perlindungan dan pemulihan. 

Sebaliknya, proses peradilan pidana masih berorientasi pada pemenuhan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana. 

Elemen hak korban yang memuat ketentuan perlindungan dan pemulihan harus termuat dalam RUU PKS. 

Baca Juga: PPKM Diperpanjang, Ini Aturan Masuk Mal dan Makan di Restoran untuk Wilayah Level 2-4

Pada draft RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI ketentuan hak korban hanya disebutkan pada bagian ketentuan umum yakni pasal 1 angka 12 yang berbunyi:

“Hak Korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh Korban, dengan tujuan mengubah kondisi Korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan Korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif”

 

Tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan. Hal ini dapat menghilangkan jaminan pemenuhan hak korban selama proses peradilan pidana. 

2. Penghapusan Ketentuan Tindak Pidana Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan  Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, dan Perbudakan Seksual

Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI hanya memuat 4 bentuk kekerasan seksual.

Adapun 4 bentuk tersebut yakni : 1) Pelecehan seksual (fisik dan non fisik); 2) Pemaksaan Kontrasepsi; 3) Pemaksaan Hubungan Seksual; dan 4) Eksploitasi Seksual.

Sementara pada naskah RUU PKS, masyarakat sipil merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual.

Yaitu pelecehan Seksual, perkosaan, pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, Perbudakan Seksual, dan Eksploitasi Seksual)

Kesembilan bentuk tersebut didasarkan pada temuan kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh forum pengada layanan dan Komnas Perempuan.

Ketiadaan pengakuan dan pengaturan ragam bentuk kekerasan seksual tersebut adalah bentuk invalidasi terhadap pengalaman korban kekerasan seksual serta pengabaian terhadap hak korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.

Baca Juga: Data Pengguna e-HAC Banyak yang Bocor, Berikut Tips Melindungi Data Pribadi

3. Penghalusan Definisi Perkosaan 

Pada dasarnya, segala kekerasan seksual adalah hubungan seksual yang tidak didasari dengan persetujuan dalam keadaan bebas karena suatu faktor.

Dengan kata lain, “pemaksaan hubungan seksual” yang dimaksud dalam upaya penghalusan bahasa/eufemisme kata “perkosaan” merupakan suatu sesat pikir (logical fallacy).

Penghalusan bahasa akan berdampak negatif pada pemaknaan peristiwa tersebut. 

4. Kosongnya Pengaturan Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO)

Berdasarkan publikasi SAFEnet, terdapat 620 laporan kasus KBGO yang dilaporkan kepada SAFEnet selama tahun 2020. Jumlah laporan tersebut merupakan hasil
peningkatan sebesar sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2019.

Kosongnya pengaturan KBGO dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI merupakan langkah tidak strategis yang tidak mempertimbangkan realitas kasus KBGO dimasyarakat. 

5. Kosongnya Pengaturan untuk Penanganan Korban Kekerasan Seksual dengan Disabilitas

Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI tidak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas.

Padahal, berdasarkan fakta, korban kekerasan seksual dengan disabilitas memiliki kebutuhan yang khusus dan berbeda-beda, termasuk aksesibilitas informasi Juru Bahasa Isyarat atau pendampingan psikologis yang disesuaikan dengan kebutuhan. 

Masing-masing ragam disabilitas memiliki kebutuhan dan pendekatan penanganan yang berbeda mulai dari pelaporan, penanganan hingga pemulihannya.

Baca Juga: Memakai Protokol Kesehatan Ketat, Tes SKD CPNS 2021 Dimulai Hari Ini

Oleh karena itu, KOMPAKS menuntut pada BALEG DPR RI untuk :

1. Membuka ruang usulan perubahan naskah dan ruang diskusi yang melibatkan masyarakat sipil dalam perumusan naskah RUU PKS;

2. Memasukkan ketentuan yang mengakomodir kepentingan korban yakni pemenuhan hak perlindungan, hak pendampingan, dan hak pemulihan korban sebagaimana yang diusulkan melalui naskah akademik dan draf RUU PKS yang disusun oleh masyarakat sipil;

3. Memasukkan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas dalam aspek pencegahan,
penanganan, dan pemulihan kekerasan seksual;

4. Memasukkan ketentuan tindak pidana Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Perbudakan Seksual dan Kekerasan Seksual Online sebagai bentuk pengakuan terhadap pengalaman korban kekerasan seksual yang beragam dan upaya penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih komprehensif; dan

5. Mengubah definisi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual menjadi tindak pidana perkosaan.(*)