Ekspresi Diri Dibatasi, Fangirl K-Pop di Indonesia Alami Kekerasan Berbasis Gender Online

Alessandra Langit - Senin, 19 Juli 2021
Kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang dialami fangirl k-pop di Indonesia.
Kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang dialami fangirl k-pop di Indonesia. BRO Vector

Parapuan.co - Menjadi perempuan penggemar atau fangirl di Indonesia memang masih asing di kalangan masyarakat umum.

Lingkungan dan budaya di Indonesia yang masih menganut sistem patriarki membuat perempuan selalu dibatasi dalam melakukan hobi atau menyukai sesuatu, termasuk musisi dan grup musik.

Adanya fenomena K-Pop dan kelompok penggemar (fandom) yang cukup besar di Indonesia membuat jumlah fangirl menjadi tinggi dan menyebar di seluruh wilayah.

Hal tersebut memantik komentar negatif dari masyarakat Indonesia yang merasa perempuan tidak boleh menggemari sesuatu dan secara aktif mengekspresikan rasa sukanya.

Ujaran kebencian dari masyarakat umum kepada para fangirl biasanya dilontarkan lewat media sosial dan menyerang serta memojokkan perempuan.

Maka, kasus-kasus tersebut bisa dikategorikan sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Baca Juga: Selain Bekali Pengetahuan, Ini Upaya Cegah KBGO pada Anak dan Remaja

Pada acara kolaborasi BTS ARMY Indonesia dengan SAFEnet yang bertajuk #SpeakYourself: Ruang Aman untuk Penyintas, dari ARMY, Jasmine Floretta dari Kajian Gender Universitas Indonesia dan juga adalah seorang perempuan penggemar, menceritakan pengalaman dan analisisnya terkait dengan kasus KBGO.

Selama menjadi pengguna media sosial Twitter, Jasmine sebagai seorang fangirl mengalami dan melihat kasus KBGO yang terjadi kepada para perempuan penggemar.

Menurut pandangan Jasmine, ujaran kebencian yang diutarakan oleh masyarakat umum kepada para fangirl sangatlah seksis dan misoginis.

Mereka menganggap perempuan yang menggemari grup musik K-Pop sangatlah rendah, fanatis, dan tidak cerdas.

"Saya dan teman-teman ARMY lainnya sering dikerdilkan karena kami adalah penggemar dari grup musik K-Pop," cerita Jasmine.

"Saya menemukan sebuah unggahan di Twitter yang menyatakan bahwa perempuan penggemar adalah kelompok perempuan dengan IQ rendah yang hanya bisa menyembah laki-laki yang ada di grup musik idola mereka," tambah Jasmine.

Jasmine kerap kali berargumen dengan oknum-oknum yang menuliskan ujaran kebencian tersebut, namun Jasmine malah mendapat serangan balik yang menargetkan gendernya sebagai perempuan.

"Mereka tidak mau mendengarkan kita karena kita adalah perempuan," jelas Jasmine.

Bagi Jasmine, hal tersebut merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang sangat seksis dengan memberi label kepada perempuan penggemar yang sangat rendah.

Perempuan penggemar seakan-akan hanya bisa menyembah, padahal kenyataannya banyak perubahan dan aksi sosial yang telah dilakukan oleh para perempuan penggemar.

Baca Juga: Mayoritasnya Perempuan, Komunitas BTS ARMY Indonesia Hadapi Komentar Bias Gender

Salah satu contohnya adalah saat hari peluncuran BTS Meal di Indonesia, Jasmine dan kawan-kawan membantu para ojek online yang mengantre dengan memberikan mereka minum.

Namun seseorang yang tidak bertanggung jawab mengambil foto kerumunan ojek online tersebut dan mengunggah ke media sosial dengan informasi hoaks yaitu ojek online jatuh pingsan saat mengantre.

Hoaks dan komentar bias dari masyarakat umum mengenai kegiatan fangirl atau sebuah fandom tersebut lebih mudah dipercaya karena stigma negatif kepada perempuan penggemar sudah telanjur tertanam di masyarakat Indonesia.

Jasmine melihat bahwa media menjadi salah satu faktor besar stigma negatif tersebut tumbuh.

Banyak media di Indonesia yang ikut memojokkan perempuan penggemar dalam berbagai bentuk narasi.

Contohnya pada tahun 2019 dimana seorang remaja perempuan penggemar boyband BTS (ARMY) dari Turki melakukan tindakan bunuh diri.

Penggemar BTS sebenarnya sudah mengetahui masalah kesehatan mental yang diidap oleh remaja akibat dari kekerasan yang ia alami di rumah, sehingga memantik tindakan bunuh dirinya.

Namun, ada salah satu media dalam negeri yang melakukan pemberitaan keliru dan memantik kekerasan berbasis gender di media sosial kepada penggemar BTS.

"Media di Indonesia memberitakan bahwa alasan dia bunuh diri adalah karena ayahnya tidak suka dengan BTS. Akibat dari berita itu adalah orang-orang semakin menyalahkan kegiatan fangirling, padahal berita itu salah," cerita Jasmine.

Bentuk KBGO lainnya yang cukup mengancam informasi pribadi perempuan penggemar adalah adanya oknum yang dengan sembarangan mengambil foto perempuan penggemar dan menyuntingnya dengan berbagai kata-kata kasar.

Baca Juga: Komunitas BTS ARMY: Ruang Aman bagi Keberagaman dan Perwujudan Globalisasi Sesungguhnya

"Pada momen ARMY Selca Day, para penggemar BTS mengunggah foto mereka untuk merayakan keberagaman, namun banyak orang yang memanfaatkan momen tersebut untuk mengunggah ulang foto ARMY dan menambahkan tulisan dan coretan yang menghina," cerita Jasmine,

Tindakan yang sudah menyentuh ranah personal seperti foto dan data pribadi menjadi keresahan besar yang dialami oleh perempuan penggemar.

Jumlah anggota fandom yang besar dan beragam membuat ARMY Indonesia bersatu untuk melawan KBGO yang mereka rasakan hampir setiap hari.

Bekerja sama dengan berbagai lembaga perlindungan seperti SAFEnet, ARMY Indonesia menciptakan ruang amannya sendiri bagi para perempuan penggemar.

SAFEnet sendiri juga menyediakan layanan pengaduan bagi siapa pun yang mengalami kasus KBGO dan kasus ujaran kebencian lainnya akibat ekspresi diri di media sosial.

ARMY Indonesia juga berinisiatif untuk membentuk lembaga hukum sendiri yaitu INDOMY BAR Association yang mengumpulkan ARMY dengan latar belakang hukum untuk memberikan perlindungan bagi perempuan penggemar yang mendapat tindak KBGO dan ketidakadilan lainnya.

Perempuan penggemar mendapatkan label yang sangat berbanding jauh dengan aksi nyata sosial, budaya, bahkan politik yang mereka lakukan setiap ada kesempatan.

Baca Juga: Kesetaraan Hubungan Antara BTS dan ARMY Ciptakan Aktivisme Fandom

Masyarakat enggan untuk mencoba melihat fakta positif mengenai perempuan penggemar karena stigma bahwa perempuan tidak bisa mengekspresikan diri dengan bebas sudah melekat di pikirannya.

Namun, kekuatan dan kerja sama perempuan penggemar di Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa banyaknya ujaran kebencian tidak memengaruhi mereka untuk berhenti melakukan apa yang mereka sukai.

Masyarakat berpendapat bahwa perempuan penggemar tidak punya kehidupan sosial, selalu fanatik, gila, melakukan pengikisan budaya, dan kesepian.

Namun nyatanya perempuan penggemar mampu melakukan perubahan, mendobrak sistem rasisme dan seksisme di industri musik, mewujudkan kegiatan sosial, serta membentuk komunitas kuat yang saling bahu-membahu. (*)

Sumber: Acara #SpeakYourself: Ruang Aman untuk Penyintas, dari ARMY
Penulis:
Editor: Rizka Rachmania