Kekerasan Seksual Jadi Senjata Perang, ini List Negara yang Terdampak

Alessandra Langit - Sabtu, 19 Juni 2021
Stop kekerasan seksual
Stop kekerasan seksual Moyo Studio

Parapuan.co - Kawan Puan, tanggal 19 Juni diperingati sebagai hari internasional untuk penghapusan kekerasan seksual di daerah konflik

Hari peringatan tersebut ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2015 untuk menyoroti masalah kekerasan seksual yang terjadi di daerah konflik. 

Kasus kekerasan seksual yang menjadi fokus utama adalah pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, aborsi secara paksa, sterilisasi secara paksa, pernikahan secara paksa, dan segala bentuk kekerasan seksual lainnya yang yang terjadi kepada perempuan, laki-laki, anak perempuan atau anak laki-laki yang berada di dalam konflik tertentu. 

Tanggal tersebut sengaja dipilih untuk memperingati Resolusi Dewan Keamanan PBB 1820 (2008) yang pertama kali mengakui penggunaan kekerasan seksual sebagai salah satu senjata perang. 

Baca Juga: Dukung Korban Kekerasan Seksual, Posko Pengaduan Gofar Hilman Dibuka!

Penggunaan pemerkosaan dan kekerasan seksual sebagai senjata perang merupakan isu yang belum ditangani secara merata. 

Tindakan tersebut terus digunakan di beberapa daerah konflik dan kecil harapan bahwa tindakan tersebut dapat benar-benar dihapus.

Kekerasan seksual adalah senjata perang yang bertujuan untuk menyakiti dan mempermalukan pihak yang lebih lemah.

Melansir dari Forbes, berikut daerah-daerah konflik yang paling terdampak.

Ethiopia

Di Ethiopia, tidak pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tigrayan dianggap sebagai metode genosida untuk menghancurkan komunitas tersebut. 

Ada banyak laporan bahwa para pelaku memperkosa para perempuan dan kemudian memutilasi para korban, setelah memberi tahu para mereka bahwa “Rahim Tigrayan tidak boleh melahirkan.”

Kamerun

Di wilayah Anglophone Kamerun, perempuan telah menjadi sasaran pemerkosaan dan kekerasan seksual di tangan separatis bersenjata, militer dan warga sipil. 

Konflik telah mengubah kawasan itu menjadi kawasan tanpa hukum. 

Hal tersebut membuat perempuan tidak terlindungi dan rentan terhadap kekejaman dan kekerasan seksual. 

Pada bulan Februari hingga Desember 2020, PBB mendokumentasikan 4.300 insiden pemerkosaan, kekerasan seksual, dan kekerasan berbasis gender di wilayah tersebut.

Pada bulan Januari dan Maret 2021, terdapat 500 kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual serta 500 kasus kekerasan berbasis gender.

Baca Juga: Faktor Ekonomi Memicu Kekerasan Terjadi pada Perempuan dan Anak!

Suriah

Di Suriah, hampir 3.000 perempuan dan anak-anak Yazidi diperbudak setelah diculik oleh kelompok Daesh pada Agustus 2014 dari Sinjar, Irak. 

Jika mereka masih hidup, perempuan dan anak perempuan Yazidi kemungkinan besar akan terus menjadi sasaran pemerkosaan dan kekerasan seksual. 

Mereka membutuhkan penyelamatan segera karena korban selalu bertambah banyak setiap tahunnya.

Irak dan Myanmar

Di Irak dan Myanmar, para penyintas perkosaan dan kekerasan seksual dibiarkan tanpa bantuan medis yang memadai dan terus hidup dalam trauma pengalaman mereka selama bertahun-tahun.

Kawan Puan, isu ini tidak memiliki solusi “ajaib” yang bisa memberi harapan kepada semua yang menderita agar masa depan lebih sejahtera. 

Terlepas dari beberapa tugas hukum internasional, program kerja PBB, janji petinggi negara, dan sebagainya, tindak kekerasan seksual ini terus berlanjut. 

Sebenarnya ada langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencegah para pelaku dan mendukung para penyintas.

Para pelaku harus diadili atas kejahatannya sebagai pelaku kekerasan seksual. 

Walaupun mereka melakukan tindak pemerkosaan dan kekerasan seksual, para pelaku dari kelompok Daesh dituntut karena kejahatan terkait teror, bukan pemerkosaan dan kekerasan seksual.

Hal tersebut menjelaskan realita yang mengerikan bahwa pemerkosaan dan kekerasan seksual, rasa sakit dan penderitaan perempuan dan anak perempuan, bukanlah hal relevan bagi lembaga hukum. 

Selain itu, perempuan korban tindak kekerasan seksual harus diberikan bantuan, baik untuk konsekuensi fisik atau mental dari pemerkosaan dan kekerasan seksual. 

Baca Juga: Menyuarakan Kekerasan Seksual Sama dengan Meneguhkan Keadilan bagi Korban

Mereka juga berhak mendapatkan bantuan yang akan membantu mereka untuk melanjutkan dan membangun kembali kehidupan mereka yang hancur karena pengalaman mengerikan tersebut. 

Perempuan tidak boleh berjalan sendiri dalam penderitaannya setelah mengalami perkosaan dan kekerasan seksual.

Isu pemerkosaan dan kekerasan seksual di daerah konflik tidak boleh diabaikan begitu saja. 

Langkah-langkah kecil harus segera diambil agar isu ini tidak semakin besar dan terlihat biasa saja bagi masyarakat luas. (*)

Sumber: Forbes
Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh