Penting! Begini Caranya Menjaga Kesehatan Mental Ibu Selama Masa Kehamilan

Ericha Fernanda - Selasa, 18 Mei 2021
Ilustrasi ibu hamil depresi
Ilustrasi ibu hamil depresi damircudic

 

Parapuan.co - Kesehatan mental seorang ibu selama dan setelah kehamilan kerap diabaikan.

Bahkan oleh ibu itu sendiri karena terlalu fokus untuk menjaga kehamilan agar bayi terlahir dengan baik.

Hal ini sebenarnya bagus, akan tetapi ketika ibu mengalami stres dan depresi justru akan mengganggu aktivitas di kemudian hari.

Baca Juga: Paparan Bahan Kimia Selama Kehamilan Tingkatkan Risiko Depresi Pascapersalinan

Kesehatan mental ibu yang terganggu tak hanya berpengaruh untuk dirinya, melainkan pasangan dan anak-anaknya dalam periode waktu tertentu.

Ibu sering mengesampingkan depresi itu, padahal tersedia banyak bantuan yang kapan saja dibutuhkan.

Menurut World Health Organization, sekitar 10 persen perempuan hamil dan 13 persen ibu baru akan mengalami gangguan kesehatan mental, khususnya depresi.

“Seringkali, mereka salah mengira bahwa mereka gagal dalam mengasuh anak,” kata Wendy Davis, direktur eksekutif Postpartum Support International (PSI), Oregon, USA, seperti dikutip dari Vogue. Wendy menyatakan, kebanyakan ibu tidak menyadari bahwa mereka sedang melalui pengalaman sementara yang dapat diobati, dan telah dialami banyak orang lain.

Apa itu depresi perinatal?

“Depresi perinatal adalah pengalaman depresi yang dimulai selama kehamilan (depresi prenatal) atau setelah bayi lahir (depresi postpartum). Kebanyakan orang pernah mendengar tentang depresi perinatal, yang umum dialami para ibu adalah kecemasan perinatal baik secara terpisah atau dengan depresi," kata Kate Borsato, terapis asal Kanada ini.

Siapa pun dapat mengalaminya, ada beberapa faktor risiko yang diketahui meningkatkan kemungkinan perempuan mengalami kesulitan kesehatan mental selama periode perinatal.

Termasuk riwayat depresi atau kecemasan sebelumnya, mereka yang memiliki jaringan dukungan terbatas, pernah mengalami trauma kelahiran atau kehamilan, kemandulan, atau secara genetik cenderung mengalaminya.

Apa saja tanda dan gejala yang harus diwaspadai?

Gejala berbeda untuk setiap orang, termasuk perasaan marah, cemas, kelelahan, mengabaikan kebersihan pribadi, kesehatan atau lingkungan sekitar, ketakutan atau rasa bersalah.

Selain itu, kurangnya minat pada bayi, perubahan nafsu makan dan gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi atau membuat keputusan, kehilangan kesenangan atau antusiasme, dan pikiran untuk menyakiti bayi atau diri sendiri.

Baca Juga: Awas! Kamu Berisiko Alami Masalah Kesehatan Mental Jika Kurang Tidur

“Saya tidak tertarik pada anak saya. Saya pikir, saya telah membuat kesalahan besar menjadi seorang ibu dan saya tidak dapat memahami mengapa saya gagal pada sesuatu yang saya yakini seharusnya terjadi secara alami dan semua wanita lain sangat ahli dalam hal itu," ungkap Jen Schwartz, advokat kesehatan mental yang berbasis di Amerika dan CEO dari Motherhood Understood, pertama kali mengalami depresi perinatal sehari setelah melahirkan.

Bukan hanya depresi dan kecemasan perinatal yang perlu ibu waspadai, perempuan juga dapat mengembangkan gangguan obsesif-kompulsif pascapersalinan, dan psikosis postpartum.

“Selama tiga bulan pertama, saya tidak tidur sama sekali. Saya selalu sadar akan kebutuhan putri saya. Dia kemudian didiagnosis menderita sakit perut. Ketika saya berhenti menyusui dan beralih ke botol, depresi dan psikosis saya menjadi sangat besar,” tutur Clara Aatoft, content creator yang berbasis di Copenhagen.

Ia didiagnosis menderita depresi pasca melahirkan yang parah dan psikosis berbulan-bulan setelah menjadi ibu baru.

Clara mengakui pernah mencoba bunuh diri dan berakhir di bangsal psikiatri.

Tapi, ia sudah sehat sekarang dan masih menjalani pengobatan antidepresan.

Kini, Clara dan anaknya memiliki hubungan yang baik.

Baca Juga: Dampak Negatif Pisahkan Anak dari Orang Tua, Si Kecil Bisa Trauma hingga Depresi

Bagaimana cara mengelola kesehatan ibu selama dan setelah kehamilan?

Menurut Kate Borsato, tidak ada bahan sederhana yang dapat mengatasi kecemasan perinatal.

Sebaliknya, dia meletakkannya pada kesediaan ibu untuk menerima dukungan, belajar untuk menyayangi diri sendiri, dan menemukan cara untuk merawat diri sendiri.

Bertemu dengan ahli kesehatan mental juga penting dalam pemulihan ibu.

Jen Schwartz juga memiliki pengalaman serupa, "Saya menerima bantuan dari keluarga, teman, dan pengasuh paruh waktu yang dapat kami pekerjakan," kata Jen.

Ia menambahkan, menemukan kelompok ibu sebagai teman yang suportif juga membantu.

Komunitas itu tidak pernah menghakimi, melainkan mendukung dan menyemangatinya sepanjang waktu demi melawan depresi.

Apapun yang terjadi, penting untuk menyadari bahwa ibu tidak sendiri dan bantuan akan selalu tersedia.(*)

Baca Juga: Manfaat Omega 3 Bagi Kesehatan, Bisa Atasi Depresi Hingga Nyeri Haid!

 

Sumber: WHO,vogue.co.uk
Penulis:
Editor: Tentry Yudvi Dian Utami

Mengenal Jenis dan Manfaat Tes Genetik, Deteksi Dini Penyakit Kronis