Toxic Masculinity Hilangkan Koneksi Ayah dan Anak Laki-Laki, Kok Bisa?

Aulia Firafiroh - Rabu, 12 Mei 2021
Ayah dan anak diskoneksi
Ayah dan anak diskoneksi fizkes

Parapuan.co - Tim peneliti Federation University di Australia menemukan fakta bahwa tidak adanya koneksi antara ayah dan anak laki-lakinya diakibatkan oleh tuntutan sosial untuk mematuhi nilai-nilai norma yang maskulin.

Dalam jurnal yang mereka terbitkan berjudul Personality and Individual Differences, para peneliti membeberkan hasil penelitian yang dilakukan melalui pengembangan kuisioner.

Kuisioner yang mereka bagikan bertujuan untuk menilai pandangan laki-laki mengenai maskulinitas dan jenis hubungan yang mereka miliki dengan ayah masing-masing.

Tentu saja, hal tersebut berkaitan dengan adanya istilah ‘toxic masculinityatau maskulinitas beracun.

Baca juga: Bagaimana Toxic Femininity dan Masculinity Memicu Kekerasan? Ini Penjelasan Psikolog

Dilansir dari laman kompas.com, Toxic masculinity dapat didefinisikan sebagai perilaku dan pemikiran sempit mengenai peran gender dan sifat laki-laki.

Definisi maskulinitas kerap dilekatkan sebagai sifat pria yang identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi.

Definisi yang sama juga dipaparkan oleh Journal of Psychology.

Journal of Psychology mendefinisikan toxic masculinity sebagai kumpulan sifat maskulin dalam konstruksi sosial yang digunakan untuk mendorong dominasi, kekerasan, homofobia, dan perendahan terhadap perempuan.

Baca juga: Mengalami Toxic Positivity dari Lingkungan Sekitar? Begini Cara Mengatasinya

Hasil penelitian Tim Federation University juga melihat ciri-ciri pandangan toxic masculinity pada laki-laki seperti menolak untuk membahas kesejahteraan emosional atau trauma, terlalu permisif terhadap perilaku berbahaya para pria atau anak laki-laki dengan membanggakan jargon ‘boys will be boys’, percaya bahwa agresivitas hanya milik pria dan memiliki cita-cita "macho", dan percaya bahwa pria lebih unggul dari wanita.

Pandangan ini, jika disertai dengan perilaku, maka akan berdampak negatif pada orang lain yang tidak memiliki pandangan sama.

Para peneliti berusaha mempelajari lebih lanjut mengenai asal-usul keyakinan tersebut, dan yang paling spesifik, apakah keyakinan tersebut dipelajari selama masa kanak-kanak dari orang tua laki-laki.

Kuisioner tersebut dibuat untuk mempelajari bagaimana kehidupan orang-orang yang memiliki cara berpikir toxic masculinity.

Baca juga: Tanpa Sadar Pernah Kita Lakukan, Ini Dia 7 Bentuk Tindakan Toxic Positivity

Penilaian kuisioner berdasarkan dari kehidupan sosial, pengalaman masa kecil, serta tingkat toxic masculinity pada setiap individu.

Para peneliti tersebut melakukan penelitian pada 188 pria yang berusia antara 18 sampai 62 tahun.

Hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa para pria atau anak laki-laki mengenal nilai-nilai toxic masculinity bukan dari keluarga seperti ayah dan ibu.

Mereka justru mengenal nilai-nilai toxic masculinity tersebut dari pergaulan sesama pria.

Baca juga: 4 Kebiasaan Toxic Orang Tua Ini Bisa Berdampak Negatif pada Anak

Tim peneliti Federation University mengungkapkan bahwa pria yang memiliki maskulinitas beracun cenderung memiliki teman pria yang jauh lebih sedikit daripada pria lain dan persahabatan mereka tidak begitu dekat.

Namun penelitian ini masih belum menjelaskan apakah laki-laki dengan maskulinitas beracun diakibatkan karena kurangnya berteman, atau malah sebaliknya.(*)

Sumber: phys.org
Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh