Bagaimana Toxic Femininity dan Masculinity Memicu Kekerasan? Ini Penjelasan Psikolog

Tentry Yudvi Dian Utami - Selasa, 13 April 2021
Ilustrasi toxic femininity
Ilustrasi toxic femininity Ponomariova_Maria

Parapuan.co – “Udahlah, enggak perlu kuliah tinggi-tinggi, toh, kamu kan perempuan bakalan di dapur dan di rumah ngurus suami.”

Kalimat sindiran seperti ini rasanya sering kali kita terima dalam keseharian ya Kawan Puan.

Tak melulu soal kuliah saja, banyak hal lainnya di kehidupan seperti mimpi, karier, mengurus keluarga, dan lain sebagainya, juga sering ‘dinyinyirin’ orang, termasuk keluarga.

Ya, menurut mereka memang peran perempuan itu tidak terlalu penting karena sejatinya perempuan itu cuma ngurus suami dan anak saja.

Ah, tapi apakah memang begitu?

Baca Juga: Masih Terbayang Masa Lalu? 5 Cara Ini Bisa Bantu Kamu Lepaskan Penyesalan

Rasanya enggak ya, Kawan Puan. Kita sebagai perempuan bebas melakukan apa saja, termasuk meraih impian yang kita mau.

Hanya saja, sejak dulu orangtua, keluarga, dan lingkungan suka menanamkan toxic femininity atau toksik femininitas. Sebuah konsep peran gender yang menempatkan perempuan harus di dapur dan di rumah.

Sayangnya, toksik femininitas ini ternyata bisa menghambat perkembangan kita, lho, Kawan Puan. Yup, menurut Nina Anna Surti sebagai psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia, sudah termasuk ke toxic femininity atau toksik femininitas.

“Toksik femininitas ini beracun merugikan baik untuk dirinya dan oranglain. Orangtua ke anak perempuan sering bilang ‘kamu harus bisa masak’. Padahal, anak minatnya memang bukan ke masak, dan penting untuk anak memiliki ketertarikan atau minat lain yang tidak sebatas gender semata. Jadi, bukan karena dia perempuan, dia harus bisa masak,” ujar Nina kepada PARAPUAN.