Bagaimana Toxic Femininity dan Masculinity Memicu Kekerasan? Ini Penjelasan Psikolog

Tentry Yudvi Dian Utami - Selasa, 13 April 2021
Ilustrasi toxic femininity
Ilustrasi toxic femininity Ponomariova_Maria

Padahal seorang anak baik itu perempuan atau laki-laki punya hak yang sama untuk eksplor diri mereka.

Dengan begitu, kita pun akan tumbuh menjadi sosok yang kreatif, percaya diri, dan bahagia. Tentu saja setara yang sangat penting untuk masa depan kita.

“Penempatan peran feminin dan maskulin yang salah ini dampaknya bisa sampai dewasa lho. Sekarang, karena perempuan banyak tuntutannya, perempuan jadi lebih tangguh dibandingkan laki-laki. Laki-laki banyak dimanjakan sehingga dia kurang bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah,” jelas Nina.

Baca Juga: Turunkan Ego, Berikut Ini 5 Tips Menghadapi Pasangan yang Keras Kepala

Munculnya kekerasan dan pemerkosaan

Sayangnya, toksik peran gender ini tak hanya merugikan diri sendiri, melainkan juga orang lain.

Nina tak menampik seseorang yang tumbuh dengan toksik femininitas dan toksik maskulinitas cenderung bisa melakukan tindakan kekerasan baik sesama gender maupun lawan jenis.

Kalau sesama gender, perlakuan itu bisa dilihat dari seringnya banyak perempuan menyindir temannya sendiri. Misalnya, teman kita makeup tidak benar, tentu kita akan bilang. "Ih, kok, alisnya miring."

“Bisa juga, toksik ini membuat perempuan melakukan kekerasan terhadap laki-laki. Misalnya, gini, dia melakukan sesuatu yang menggunakan gaya tarik seks. ‘lo enggak akan dikasih jatah, kalau misalnya lo begini-begini’. Walaupun pasangan sedang lelah, atau apa tetap didesek untuk melakukan sesuatu. Jadinya kan merugikan untuk laki-laki itu,” jelas Nina.