Kenapa Kita Menormalkan Konten TikTok Berisi Pelecehan Seksual? Ini Jawaban Komnas Perempuan

Alessandra Langit - Rabu, 28 April 2021
Ilustrasi pelecehan seksual
Ilustrasi pelecehan seksual Freepik

Parapuan.co - Media sosial baru-baru ini diramaikan dengan konten Tiktok yang berbentuk pelecehan seksual oleh akun bernama @iqbalahm

Konten-konten yang diunggah cenderung bercerita tentang laki-laki (dalam konsep POV (Point of View)-nya adalah Iqbal sendiri) yang mengintip, mencium, menyentuh perempuan (dalam konsep POV-nya adalah penonton) tanpa konsen dan beberapa terkesan memaksa.

Konten tersebut memantik kemarahan dan kekecewaan dari banyak pihak. Namun tidak sedikit netizen yang merasa tidak ada masalah dengan konten-konten tersebut.

Mereka merasa yang dilakukan oleh kreatorm tersebut adalah bentuk lelucon. Bahkan banyak netizen perempuan yang merasa tidak masalah bila mengalami hal serupa.

Baca Juga: Bikin Sedih, Korban Pemerkosaan di 6 Negara Asia Selatan Ini Justru Harus Tes Vagina untuk Buktikan Kasusnya

“Kalau yang ngeracuninnya Iqbal sih tidak apa-apa,” ungkap seorang netizen dalam kolom komentar TikTok Iqbal.

Banyaknya netizen yang menormalisasi lelucon yang mengandung pelecehan seksual membuat kita bertanya-tanya, mengapa pelecehan seksual bukan hal yang berbahaya dan perlu diperhatikan bagi kebanyakan masyarakat Indonesia?

Pada hari Selasa (27/4/21), PARAPUAN berkesempatan untuk berbincang lewat daring dengan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, mengenai hal tersebut.

Siti Aminah mengatakan, “Konten Tiktok tersebut dapat dikatakan akibat rape culture, dalam bentuk menilai apa yang terjadi seperti mencium tanpa konsen, mengintip, menghukum adik kelas dengan mencium sebagai hal yang wajar dan dirayakan.

“Padahal, hal tersebut (mencium,mengintip, menghukum secara seksual) adalah bentuk pelecehan seksual.”

Rape culture sendiri merujuk pada pengertian lingkungan sosial yang memungkinkan kekerasan seksual untuk dianggap normal dan dibenarkan.

Hal tersebut dipicu oleh ketidaksetaraan gender dan sikap terhadap peran gender dan seksualitas.

Menurut Siti Aminah, selain menormalisasikan pelecehan seksual, berikut adalah tindakan yang muncul akibat adanya rape culture:

  1. Menyalahkan korban. 
  2. Membenarkan kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender lainnya. 
  3. Lelucon eksplisit secara seksual. 
  4. Memperhatikan pakaian, keadaan mental, motif, dan latar belakang korban secara terbuka. 
  5. Penggambaran kekerasan berbasis gender yang serampangan dalam film dan televisi. 
  6. Mendefinisikan “kejantanan” sebagai sesuatu yang dominan dan agresif secara seksual, sedangkan “keperempuanan” sebagai penurut dan pasif secara seksual.
  7. Cenderung mendidik perempuan agar tidak diperkosa dibanding mendidik lelaki untuk tidak memperkosa.

Baca Juga: Peringati Hari Bumi, Ini Alasan Perempuan Lebih Rentan Terhadap Perubahan Iklim

Iqbal dan kreator lainnya bisa dengan mudah membuat konten berupa pelecehan seksual karena rape culture di Indonesia cukup tinggi.

“Jika kemudian akun Iqbal ataupun akun-akun lain membuat konten serupa, berarti rape culture ini sudah meresap dan tertanam dalam cara kita berpikir, berbicara, dan bergerak di Indonesia, baik di laki-laki maupun perempuan. 

“Hal ini berakar pada kepercayaan, kekuasaan, dan kontrol patriarki,” jelas Siti Aminah.

Menurut Siti Aminah, dampak dari konten Tiktok yang mengandung pelecehan seksual adalah anak-anak remaja baik laki-laki atau perempuan akan semakin menginternalisasi nilai-nilai rape culture.

Mereka akan memandang bahwa menjadikan perempuan sebagai objek adalah hal biasa. 

“Dampak bagi perempuan, terutama bagi mereka yang pernah mengalami pelecehan seksual adalah mereka bisa kembali mengalami dan merasakan trauma, seperti mimpi buruk, emosi negatif, rasa tidak berdaya, dan  memiliki ketakutan untuk membangun relasi juga mengakses internet,” jelasnya.

Siti Aminah juga menjelaskan bahwa UN Women memberikan 16 jalan untuk melawan rape culture, termasuk dengan cara memilih meninggalkan bahasa misoginis dalam karya.

Cara lainnya adalah mendidik generasi berikutnya mengenai nilai-nilai kesetaraan, menghilangkan stereotip gender, dan merancang definisi baru terkait konsep maskulinitas dan feminitas.

Baca Juga: Mengenal Tonic Immobility, Kondisi Tubuh saat Seseorang Alami Pemerkosaan

Hal tersebut diharapkan dapat membantu generasi berikutnya tidak mewarisi rape culture ini.

“Saya pikir, anak-anak muda dengan kreatifitasnya seperti Iqbal tidak akan kehilangan followersnya jika membuat konten yang menggambarkan relasi setara, adil dan anti kekerasan terhadap perempuan,” ungkap Siti Aminah, menutup percakapan.

Kawan Puan, rape culture merupakan budaya buruk yang masih melekat di tengah masyarakat Indonesia.

Kita, sebagai perempuan, dapat ikut menghentikannya dengan melaporkan konten-konten serupa dan membuat konten yang lebih mendidik tanpa harus menjadikan perempuan sebagai objek.(*)