Parapuan.co - Dalam sebuah kasus kekerasan seksual, ada saatnya seorang korban akhirnya memberanikan diri bersuara. Alih-alih mendapat dukungan, ia dituding merusak reputasi pelaku, dituduh ingin panjat sosial, bahkan dianggap berlebihan.
Pelaku membantah tuduhan dengan lantang, menyerang balik karakter si korban, dan menciptakan narasi bahwa dialah yang sebenarnya sedang disudutkan. Korban pun dilabeli sebagai pembohong atau drama queen.
Situasi ini tidak langka, bahkan pola seperti ini semakin sering muncul, baik di dunia nyata maupun media sosial.
Di balik kekacauan narasi itu, ada pola yang sebenarnya sudah dikenali dalam dunia psikologi, yaitu DARVO. Untuk perempuan, terutama penyintas kekerasan seksual, memahami DARVO bukan sekadar informasi, tetapi alat bertahan hidup dan melawan balik.
Melansir Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma tahun 2020, DARVO merupakan akronim dari Deny, Attack, Reverse Victim and Offender.
DARVO merupakan strategi manipulatif yang digunakan pelaku kekerasan, khususnya dalam kasus kekerasan seksual, untuk membalikkan keadaan dan menghindari tanggung jawab.
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh psikolog Jennifer J. Freyd pada tahun 1997 dalam studinya tentang trauma pengkhianatan (betrayal trauma). Mengutip Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma tahun 2020, DARVO sendiri melibatkan tiga tahap utama, yaitu:
- Deny: Pelaku menyangkal bahwa kekerasan atau pelecehan pernah terjadi.
- Attack: Pelaku menyerang kredibilitas korban, menyebutnya manipulatif, sakit jiwa, atau punya motif tersembunyi.
Baca Juga: Menjadi Masyarakat yang Proaktif Mencegah dan Menghentikan Kekerasan Seksual
- Reverse Victim and Offender: Pelaku memposisikan diri sebagai korban serangan, atau fitnah, sehingga membingungkan publik dan memperlemah posisi korban.
Taktik ini berhasil karena mengandalkan bias sosial, ketimpangan kuasa, dan mitos tentang kekerasan seksual. Tentunya bukan sekadar pembelaan diri, tetapi taktik manipulatif untuk mempertahankan kuasa dan membungkam keadilan.
Dalam beberapa kasus kekerasan seksual di Indonesia, pelaku tidak hanya menyangkal perbuatannya, tetapi juga menggugat balik korban dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Taktik ini merupakan bagian dari strategi DARVO, di mana pelaku berusaha membalikkan peran dengan mengklaim dirinya sebagai korban.
Dalam laporan Indonesia Judical Research Society (IJRS), mencatat bahwa pelaku seringkali memanfaatkan ketidakseimbangan kekuasaan dan kelemahan sistem hukum. Tindakan ini bertujuan untuk menciptakan ketakutan dan keraguan dalam diri korban, sehingga korban mencabut laporan atau berdamai di luar pengadilan.
Penelitian Barometer Kesetaraan Gender pada tahun 2020, yang dilakukan oleh Indonesia Judical Research Society (IJRS), menemukan bahwa sebanyak 39,9 persen kasus diselesaikan dengan pelaku membayar sejumlah uang. Selain itu, sebanyak 26,2 persen kasus berakhir dengan pernikahan antara pelaku dan korban.
Penyelesaian semacam ini seringkali tidak mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial terhadap korban, serta dapat memperkuat strategi DARVO dengan memberikan kesan bahwa pelaku tidak bersalah.
Korban yang menghadapi DARVO mengalami tingkat stres dan depresi lebih tinggi, serta lebih mungkin menarik laporan mereka karena merasa tidak aman atau tidak dipercaya.
Baca Juga: Jangan Diam! Ini Bantuan untuk Perempuan Disabilitas yang Alami Kekerasan Seksual
Dalam masyarakat patriarkal, narasi pelaku sering lebih dipercaya, terutama jika pelaku adalah laki-laki yang punya kuasa atau reputasi baik.
Banyak orang masih percaya bahwa perempuan sering melebih-lebihkan atau membuat-buat tuduhan kekerasan seksual. Pelaku DARVO memanfaatkan bias ini untuk memperkuat posisi mereka.
Melihat betapa sistematis dan merusaknya pola DARVO dalam membungkam korban kekerasan seksual, baik di ranah personal, publik, hingga institusional, ini cara yang bisa dilakukan untuk turut mencegah adanya praktik DARVO:
- Dukung korban: Percayai dan validasi pengalaman mereka.
- Kenali pola DARVO: Edukasi diri dan orang sekitar agar tidak termakan narasi manipulatif.
- Lawan balik secara kolektif: Gunakan solidaritas komunitas untuk melindungi korban dari serangan balik.
- Dorong reformasi hukum: Perlindungan terhadap pelapor, anti-SLAPP atau perlindungan hukum bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam kepentingan publik, dan penanganan kekerasan seksual berperspektif korban.
DARVO bukan hanya strategi pelaku, tetapi cermin dari sistem yang tidak berpihak pada keadilan.
Untuk melawannya, dibutuhkan kesadaran kolektif, keberanian korban baik itu perempuan atau laki-laki untuk bersuara, dan dukungan nyata dari masyarakat.
Baca Juga: 3 Jenis Kekerasan yang Rentan Dialami Perempuan di Tempat Kerja
(*)
Celine Night