Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Melihat sang Ayah mencuci piring setelah acara jamuan keluarga, memasak untuk Ibu, Kakak dan Adik, atau turut merapikan rumah di pagi hari. Semua itu bagi Rizqi adalah pemandangan biasa.
Pekerjaan domestik yang dijalani ayahnya, bukan pemandangan asing. Rizqi juga tak melihat ada pembagian jenis pekerjaan berdasar klasifikasi gender.
Dalam suatu kesempatan, dia menyaksikan sang Ibu mengganti galon air minum dengan perkasa. Juga adik laki-lakinya yang mengepel lantai.
Beban pekerjaan diselesaikan bersama. Ditakar menurut ketersediaan waktu yang dimiliki tiap anggota keluarga.
Pengalaman Rizqi dalam keseharian, tak lain adalah penyematan data dalam rasionalitas dan emosinya.
Berbagai jenis pekerjaan, dan pelaku pekerjaan, dipadunya sebagai informasi. Kemunculan informasi yang bersifat rutin, diserap berulang-ulang.
Ini mewujud sebagai pengetahuan, bahwa tidak ada kaitan antara jenis pekerjaan dengan gender. Rizqi memaknainya sebagai kelaziman.
Pengetahuan yang diserap ini, kemudian berimplikasi sebagai respons di luar lingkungan domestiknya.
Dia memaknai berbagai jenis pekerjaan, tanpa mengaitkannya dengan gender.
Baca Juga: Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Kesetaraan Gender
Penanganan kerja, lebih karena kesempatan atau kemampuan yang dimiliki. Bukan aspek primordial.
Ilustrasi ringan di atas identik dengan cara kerja, atau proses penyusunan artificial intelligence (AI).
Produk AI yang dinikmati khalayak pengguna teknologi, melibatkan setidaknya 3 hal utama.
1. Adanya penyematan data pada machine learning (ML).
Pelaku penyematan data bisa dari kalangan pemrogram yang mengikuti sistematika untuk mencapai suatu tujuan. Dari proses ini akan dihasilkan AI yang memilliki kemampuan tertentu.
Namun penyematan data juga bisa berasal dari kalangan awam, yaitu kita, para pengguna teknologi (user).
Prosesnya terjadi saat menggunakan platform yang mampu mengolah data.
Sebut saja media sosial seperti Facebook, Instagram, Tiktok, WhatsApp; platform mesin pencari seperti Google, Yahoo, Bing, Baido; dan platform yang digunakan untuk keperluan harian seperti belanja, bertransportasi, menyimak berita, maupun menonton tayangan hiburan, seperti Netflix.
Penyematan data terjadi saat para pengguna media sosial melakukan unggahan, memberikan komentar, merespon dengan like, menuliskan petikan pada foto yang diunggahnya.
Baca Juga: Belajar Bahasa Secara Digital, Ini Rekomendasi Platform Berbasis Teknologi AI DME
Juga saat pengguna mesin pencari melakukan pencarian, ketika pengguna platform berbelanja, bertransportasi, menyimak berita maupun menonton hiburan dengan menggunakan perangkatnya.
2. Pelatihan.
Dari penyematan data di ML, terjadi interaksi antar data. Disebut sebagai pelatihan karena pada ML dilakukan pembentukan respon yang terprogram. Tujuannya untuk mengkategorisasi data.
Hasil kerja pengkategorian, seakan identik sebagai pemahaman oleh mesin. Namun sesungguhnya mesin tak pernah memahami. Yang dilakukan sebatas mengkategorisasi.
Misalnya begini: Terdapat data berupa gambar seorang perempuan yang berhadapan dengan komputer di meja kerja. Pada gambar tersebut dituliskan “perempuan pekerja”.
Melalui penyematan data sejenis yang berulang dan penyebutan yang konsisten, ML “paham” bahwa gambar itu adalah perempuan pekerja.
Demikian juga ketika pengguna media sosial maupun mesin pencari, menginteraksikan data berupa suara laki-laki dengan sebutan, “laki-laki memimpin”.
Dengan data yang berulang, dihasilkan penyebutan yang konsisten. ML hanya melakukan pengkategorian data.
Proses di atas diikuti langkah berikutnya.
Baca Juga: Begini Cara Membuat Instagram Reels Agar Follower Kamu Meningkat
3. Penyusunan algoritma oleh deep learning (DL).
Data yang disematkan pada ML, jumlahnya dari kilobyte hingga petabyte. Karena ML dapat disemati data yang jumlahnya seakan tak terbatas itulah, bilangannya disebut sebagai big data.
Di antara big data yang dinteraksikan, kategorinya tunggal.
Ini artinya, tak setiap gambar perempuan hanya terkait sebagai pekerja, dan tak setiap laki-laki dengan memimpin.
Terdapat semesta kemungkinan yang dapat terbentuk. Karenanya, agar semesta kategori itu dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan kinerja yang membantu penggunanya, DL membangun algoritma.
Proses pembangunan algoritma ini, tak ubahnya yang terjadi pada lemari pendingin di rumah.
Isinya aneka bumbu, seperti bawang merah, bawang putih, bawang bombai, merica, ketumbar, asam, garam, gula.
Lalu sayur, seperti wortel, kol, kacang panjang, buncis, kentang, tomat, labu, jagung; maupun bahan, seperti telur, daging ayam, daging sapi, ikan. Isi lemari pendingin adalah data.
Dari data, dapat disarankan paduan, mixing, aneka olahan makanan berdasar material yang ada.
Baca Juga: Algoritma Instagram Berubah, Ini Cara Atur Timeline Berdasarkan Waktu Posting
Kemungkinan paduannya sangat banyak. Sayur sup, sayur asam, orak arik, dadar wortel, perkedel.
Paduan itu pun dapat lebih ditajamkan lewat “perintah” yang lebih dalam.
Seperti susun: “olahan makanan dari lemari pendingin untuk siang yang panas”, atau “olahan makanan untuk 12 orang saat lebaran”.
DL menghasilkan algoritma berdasar paduan bahan-bahan yang telah disematkan sebelumnya.
Walaupun algoritma sebagian merupakan sintesa big data, sehingga seakan menghasilkan kriteria paduan yang baru, namun tak akan pernah muncul algoritma tanpa data yang belum tersemat.
Ini kemudian dipahami, kinerja AI sangat tergantung pada data yang disematkan, pelatihan yang diberikan dan program yang tersedia untuk menyusun algoritma.
Seluruhnya tak pernah lepas dari peran manusia.
Realitas itu senada dengan pernyataan yang dikemukakan tim penulis di Simplilearn.com, 2022.
Lembaga ini menyebutkan, AI yang kemampuannya terus dikembangkan, seluruhnya tak bakal terjadi tanpa campur tangan manusia.
Baca Juga: Mengenal Life 3.0, Era di Mana Manusia Hidup dengan Kecerdasan Buatan
Semua kinerja kecerdasan buatan, termasuk kendaraan tanpa manusia pengemudi, robotika, serta teknologi yang lebih kompleks seperti visi komputer, dan pemrosesan bahasa alami, pengembangannya bergantung pada kecerdasan manusia.
Perlu diketahui, Simplilearn merupakan lembaga yang menyediakan pelatihan online untuk pemasaran digital, cloud computing, data science, TI, pengembangan perangkat lunak, hingga terlibat dalam kajian teknologi baru lainnya.
Implikasinya, ketika kinerja AI sangat melekat dengan peran manusia, muncul pertanyaan: Manusia seperti apa yang harusnya berperan dalam pengembangan AI?
Ini relevan, mengingat dimensi-dimensi manusia tak seluruhnya unggul.
Ada kelemahan-kelemahan mendasar yang diderita manusia. Terhadap ketakunggulan ini harus dicegah penyematannya pada AI.
Senada dengan itu, Halley Bondi, 2018, lewat tulisannya “Artificial Intelligence has a Gender Oroblem—Why it Matters for Everyone” mengungkap adanya peluang tak proporsionalnya keragaman gender maupun ras antar bangsa dalam pengembangan AI.
Ini bersumber dari realitas: Perempuan di area kerja bidang komputasi hanya terepresentasi tak lebih dari 26%.
Dari angka itu hanya 3% perempuan dari kalangan Afrika-Amerika dan 2% perempuan Amerika-Latin.
Lebih lanjut Bondi mengungkapkkan, implikasi dari tak terepresentasinya gender maupun rasa antar bangsa dengan proporsional, masa depan pengembangan AI bakal suram.
Baca Juga: Berperan Besar, Ini Tips Perempuan Bertahan di Industri Teknologi Menurut Fiona Lee
Area kerja hanya diwarnai homogenitas, yang lebih menampung laki-laki berkulit putih dan non disabilitas.
Untuk memecahkan keadaan ini, harus lebih banyak perempuan dan minoritas bekerja di bidang teknologi.
Jika tidak, perempuan dan minoritas berisiko bakal tertinggal di setiap industri. Bukan hanya pada pengembangan AI.
Ilustrasi relevan untuk keadaan di atas, dapat digambarkan ketika seorang bayi yang dalam proses belajarnya hanya melibatkan orang tua tunggal laki-laki.
Interaksi sang ayah dengan bayi yang dimulai dengan pengenalan nama-nama benda, ekspresi reaksi terhadap benda, penginteraksian penggunaan benda.
Seluruhnya menurut “cara” ayah. Ini artinya, proses penyematan datanya dalam point of view ayah. Laki-laki.
Pembentukan kecerdasan bayi dimulai dengan penyematan data sederhana, diikuti interaksi data yang lebih kompleks dan diakhiri dengan terbentuknya kecerdasan.
Kecerdasan itu terindikasi dari respon bayi, yang kian merepresentasikan kompleksitas pemaduan data.
Seluruhnya identik dengan proses pengembangan AI. Bayi berkembang sebagai manusia cerdas.
Baca Juga: Bikin Jobseeker Insecure, Benarkah Ketersediaan Lowongan Kerja Berkurang karena AI?
Di sini permasalahan akan nampak. Sumber data pembangun kecerdasan, tunggal dari sang ayah.
Perspektif bayi akan sangat didominasi kecenderungan ayahnya. Keunggulan maupun bias ayah dalam memandang dunia tersemat pada bayi.
Ini termasuk pandangannya soal pekerjaan laki-laki vs. perempuan, semesta domestik vs. publik, reaksi terhadap terhadap yang emosional vs. rasional.
Seluruhnya dalam point of view laki-laki. Yang pasti berbeda jika bayi dibesarkan secara seimbang oleh ayah-ibunya.
Keadaan itu pula yang terjadi ketika AI dikembangakan dalam keadaan yang tak proporsional.
AI bakal tersemati keunggulan gender dan ras antar bangsa yang dominan saja.
Juga membawa kelemahan bias gender maupun ketimpangan ras antar bangsa yang mengembangkannya.
Tentu saja dunia akan makin timpang dalam perspektif laki-laki, seiring makin luasnya AI digunakan. (*)