Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Semua kinerja kecerdasan buatan, termasuk kendaraan tanpa manusia pengemudi, robotika, serta teknologi yang lebih kompleks seperti visi komputer, dan pemrosesan bahasa alami, pengembangannya bergantung pada kecerdasan manusia.
Perlu diketahui, Simplilearn merupakan lembaga yang menyediakan pelatihan online untuk pemasaran digital, cloud computing, data science, TI, pengembangan perangkat lunak, hingga terlibat dalam kajian teknologi baru lainnya.
Implikasinya, ketika kinerja AI sangat melekat dengan peran manusia, muncul pertanyaan: Manusia seperti apa yang harusnya berperan dalam pengembangan AI?
Ini relevan, mengingat dimensi-dimensi manusia tak seluruhnya unggul.
Ada kelemahan-kelemahan mendasar yang diderita manusia. Terhadap ketakunggulan ini harus dicegah penyematannya pada AI.
Senada dengan itu, Halley Bondi, 2018, lewat tulisannya “Artificial Intelligence has a Gender Oroblem—Why it Matters for Everyone” mengungkap adanya peluang tak proporsionalnya keragaman gender maupun ras antar bangsa dalam pengembangan AI.
Ini bersumber dari realitas: Perempuan di area kerja bidang komputasi hanya terepresentasi tak lebih dari 26%.
Dari angka itu hanya 3% perempuan dari kalangan Afrika-Amerika dan 2% perempuan Amerika-Latin.
Lebih lanjut Bondi mengungkapkkan, implikasi dari tak terepresentasinya gender maupun rasa antar bangsa dengan proporsional, masa depan pengembangan AI bakal suram.
Baca Juga: Berperan Besar, Ini Tips Perempuan Bertahan di Industri Teknologi Menurut Fiona Lee
Area kerja hanya diwarnai homogenitas, yang lebih menampung laki-laki berkulit putih dan non disabilitas.
Untuk memecahkan keadaan ini, harus lebih banyak perempuan dan minoritas bekerja di bidang teknologi.
Jika tidak, perempuan dan minoritas berisiko bakal tertinggal di setiap industri. Bukan hanya pada pengembangan AI.
Ilustrasi relevan untuk keadaan di atas, dapat digambarkan ketika seorang bayi yang dalam proses belajarnya hanya melibatkan orang tua tunggal laki-laki.
Interaksi sang ayah dengan bayi yang dimulai dengan pengenalan nama-nama benda, ekspresi reaksi terhadap benda, penginteraksian penggunaan benda.
Seluruhnya menurut “cara” ayah. Ini artinya, proses penyematan datanya dalam point of view ayah. Laki-laki.
Pembentukan kecerdasan bayi dimulai dengan penyematan data sederhana, diikuti interaksi data yang lebih kompleks dan diakhiri dengan terbentuknya kecerdasan.
Kecerdasan itu terindikasi dari respon bayi, yang kian merepresentasikan kompleksitas pemaduan data.
Seluruhnya identik dengan proses pengembangan AI. Bayi berkembang sebagai manusia cerdas.
Baca Juga: Bikin Jobseeker Insecure, Benarkah Ketersediaan Lowongan Kerja Berkurang karena AI?
Di sini permasalahan akan nampak. Sumber data pembangun kecerdasan, tunggal dari sang ayah.
Perspektif bayi akan sangat didominasi kecenderungan ayahnya. Keunggulan maupun bias ayah dalam memandang dunia tersemat pada bayi.
Ini termasuk pandangannya soal pekerjaan laki-laki vs. perempuan, semesta domestik vs. publik, reaksi terhadap terhadap yang emosional vs. rasional.
Seluruhnya dalam point of view laki-laki. Yang pasti berbeda jika bayi dibesarkan secara seimbang oleh ayah-ibunya.
Keadaan itu pula yang terjadi ketika AI dikembangakan dalam keadaan yang tak proporsional.
AI bakal tersemati keunggulan gender dan ras antar bangsa yang dominan saja.
Juga membawa kelemahan bias gender maupun ketimpangan ras antar bangsa yang mengembangkannya.
Tentu saja dunia akan makin timpang dalam perspektif laki-laki, seiring makin luasnya AI digunakan. (*)