Parapuan.co - Kawan Puan, baru-baru ini ramai dibahas di media sosial dan media massa tentang kasus tragis seorang ibu di Bandung yang mengakhiri hidupnya karena tidak ingin anaknya menderita di masa depan. Sebelum mengakhiri hidupnya sendiri, sang ibu meninggalkan sepucuk surat berisi pesan pilu yang mengungkapkan alasannya "pergi membawa dua anaknya" untuk selama-lamanya.
Kasus ini harusnya kembali menyadarkan kita pada satu hal, yaitu tentang besarnya beban yang sering dipikul seorang ibu. Keputusan ekstrem itu, meski tidak bisa dibenarkan, menunjukkan bagaimana banyak perempuan rela menomorduakan diri demi memastikan anak-anak mereka hidup lebih baik.
Terlepas alasan lain di baliknya, sang ibu melakukan hal tersebut karena lelah dengan penderitaan hidupnya selama ini dan tidak ingin anak-anaknya terus mengalami penderitaan itu selama hidupnya.
Mother Load: Beban Tak Terlihat Seorang Ibu
Menjadi seorang ibu bukanlah hubungan yang setara secara emosional. Seorang anak bisa bebas menerima perhatian, kasih sayang, dan pengorbanan, sementara ibu lebih banyak memberi tanpa mengharapkan balasan.
Inilah yang disebut sebagai “Mother Load”, kondisi ketika ibu terbiasa mendahulukan kebutuhan orang lain—terutama anak—dibandingkan dirinya sendiri.
Ketika anak masih kecil, seluruh perhatian ibu tercurah pada setiap kebutuhan mereka. Bahkan, hal-hal kecil yang dianggap remeh, seperti menemani anak tidur atau memberikan suapan terakhir makanan, sering lebih penting bagi seorang ibu dibandingkan rasa lelah atau keinginannya sendiri.
Dari situlah muncul pola bahwa kebahagiaan anak dianggap sebagai ukuran kebahagiaan ibu.
Mengapa Ibu Selalu Menomorduakan Diri?
Baca Juga: Mental Load yang Dialami Perempuan Setelah Jadi Ibu dan Cara Menghadapinya
Ada beberapa alasan mengapa banyak ibu lebih memprioritaskan orang lain. Sebagian jawabannya adalah yang PARAPUAN rangkum dari Huffpost di bawah ini:
1. Ikatan emosional yang kuat: Rasa cinta seorang ibu sering kali membuatnya menempatkan kebutuhan anak di atas segalanya. Ia rela kehilangan kenyamanan pribadi agar anak tidak merasa kekurangan.
2. Budaya dan ekspektasi sosial: Di banyak masyarakat, ibu dipandang sebagai figur pengorbanan. Kalimat seperti “ibu itu harus sabar” atau “ibu itu harus kuat” menambah tekanan agar perempuan selalu mengutamakan keluarga.
3. Rasa tanggung jawab tanpa batas: Ibu merasa dirinya adalah penopang utama rumah tangga. Jika ia lengah, anak-anaklah yang akan menanggung akibatnya. Hal ini membuat mereka rela menunda, bahkan mengabaikan, kebutuhan pribadi.
Antara Cinta dan Kehilangan Diri
Namun, di balik ketulusan itu, tersimpan dilema. Saat ibu terus-menerus menomorduakan diri, ia bisa kehilangan identitas pribadi. Tidak jarang, muncul perasaan lelah, kesepian, bahkan putus asa. Itulah mengapa kasus seperti bunuh diri seorang ibu di Bandung tidak bisa dipandang hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari beban emosional dan mental yang tidak tertangani.
Ibu yang selalu memberi sering kali tidak mendapatkan ruang untuk menjadi penerima. Hubungan yang timpang ini berlangsung terus hingga anak dewasa. Mereka sibuk dengan kehidupannya sendiri, sementara ibu tetap berada di posisi sebagai pemberi, bukan penerima.
Menyeimbangkan Peran
Meski pengorbanan ibu sering dianggap wajar, penting untuk menyadari bahwa ibu juga manusia yang berhak bahagia. Menjaga kesehatan mental, memiliki waktu pribadi, dan mengejar kebahagiaan sendiri bukanlah bentuk egoisme, melainkan bagian dari keseimbangan hidup.
Baca Juga: Mengungkap Tekanan Mental Perempuan di Balik Peran Ganda yang Dijalani
Ada pepatah yang mengatakan, “If Mama ain’t happy, ain’t nobody happy.” Artinya, ketika seorang ibu bahagia, maka seluruh keluarga juga akan merasakan dampaknya.
Kasus ibu di Bandung menjadi pengingat bahwa di balik setiap senyum dan pengorbanan seorang ibu, ada beban tak kasatmata yang sering kali tidak diperhatikan.
Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi ibu yang selalu menomorduakan diri. Karena pada akhirnya, seorang ibu yang sehat, bahagia, dan seimbang akan jauh lebih mampu memberi cinta dan perlindungan bagi anak-anaknya.
Kamu tidak sendirian. Kalau kamu merasa hidup terlalu berat, ingat kalau kamu berharga. LISA Suicide Prevention Line: +62 811-385-5472.
(*)