Studi Berikut Mengungkap Celah ChatGPT yang Bisa Menyesatkan Remaja

Arintha Widya - Jumat, 22 Agustus 2025
Studi Ungkap Celah ChatGPT yang Bisa Menyesatkan Remaja
Studi Ungkap Celah ChatGPT yang Bisa Menyesatkan Remaja alexsl

Parapuan.co - Sejak kecerdasan buatan (AI) semakin populer, chatbot seperti ChatGPT mulai digunakan bukan hanya untuk tugas sekolah, tetapi juga sebagai teman curhat oleh para remaja. Namun, sebuah studi terbaru dari Center for Countering Digital Hate (CCDH) mengungkap sisi gelap dari tren ini, di mana ChatGPT ternyata masih bisa memberikan informasi yang berbahaya bagi pengguna muda.

Informasi berbahaya seperti apa yang dimaksud, dan bagaimana orang tua dapat membantu remaja menggunakan AI dengan lebih bijak? Simak informasi yang dikutip dari Parents berikut ini, yuk!

Studi: ChatGPT Bisa "Membocorkan" Konten Berbahaya

Peneliti CCDH menyamar sebagai remaja dan mengajukan berbagai pertanyaan sensitif, mulai dari cara melukai diri sendiri hingga resep mencampur obat-obatan. Meski seharusnya ada sistem pengaman, peneliti menemukan celah: cukup menuliskan prompt alasan bahwa informasi yang diminta untuk “presentasi”, ChatGPT mau menjawab.

Dari 1.200 jawaban yang dianalisis, 53% berisi konten berbahaya. Beberapa bahkan sangat mengkhawatirkan, seperti panduan melukai diri dengan “aman” hingga contoh surat bunuh diri.

“Kami ingin menguji pagar pengaman itu,” jelas Imran Ahmed, CEO CCDH. “Reaksi pertama saya adalah, ‘Astaga, pagar itu sebenarnya tidak ada. Kalau pun ada, hanya seperti daun kecil untuk menutupi’.”

AI Jadi Teman, Tapi Bisa Menyesatkan

Yang membuat situasi ini semakin serius adalah fakta bahwa banyak remaja memang menggunakan AI untuk teman bicara dan tempat mencari nasihat. Studi dari Common Sense Media menemukan:

  • 72% remaja pernah menggunakan AI companion,
  • 52% menggunakannya secara rutin,
  • 33% memanfaatkannya untuk interaksi sosial, termasuk curhat masalah mental hingga urusan romantis.

“Banyak remaja beralih ke AI karena teknologi ini hadir di tempat mereka berada: online,” ujar Titania Jordan, Chief Parenting Officer Bark.us. “AI selalu membalas pesan, selalu ramah, dan memberi validasi tanpa henti. Namun, pada akhirnya itu bukan hubungan nyata.”

Baca Juga: Pemanfaatan AI dalam Pengasuhan Anak, Solusi dan Tantangan bagi Orang Tua

Masalahnya, remaja cenderung mudah percaya bahwa informasi dari AI adalah benar atau aman, padahal bisa sangat berisiko.

Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?

Meski terdengar menakutkan, bukan berarti solusi utamanya adalah melarang total. Kuncinya ada pada komunikasi terbuka. Jordan menyarankan orang tua untuk mulai bertanya dengan ringan:

  • Apakah anak mereka pernah mencoba menggunakan AI seperti ChatGPT?
  • Apa yang mereka lakukan dengan chatbot tersebut?
  • Apakah teman-teman mereka juga menggunakannya?

Dari situ, orang tua bisa mengajak anak membedakan antara “teman virtual” dan hubungan nyata. Jelaskan bahwa persahabatan sejati tidak selalu mulus dan penuh validasi, justru ada tantangan dan konflik yang membuat anak belajar tumbuh.

Selain itu, orang tua juga bisa mempertimbangkan penggunaan aplikasi kontrol seperti Bark, yang mampu memblokir chatbot AI di ponsel anak sekaligus memberikan peringatan jika ada konten berbahaya.

Menutup Celah, Membangun Kesadaran

OpenAI, pengembang ChatGPT, menyatakan sedang terus memperbaiki cara sistem mereka merespons pertanyaan sensitif. Namun, para ahli tetap menekankan pentingnya peran keluarga.

AI bisa jadi alat belajar yang hebat, tapi juga bisa jadi sumber risiko jika tidak didampingi. Maka, orang tua perlu hadir sebagai filter pertama—bukan hanya dengan aturan, tetapi juga dengan empati dan komunikasi.

Karena pada akhirnya, tidak ada chatbot secanggih apa pun yang bisa menggantikan kehangatan, perhatian, dan koneksi nyata antara anak dan orang tua.

Baca Juga: Kerentanan Perempuan dan Anak terhadap Penyalahgunaan AI dan Ancaman Deepfake

(*)

Sumber: Parents
Penulis:
Editor: Arintha Widya