Parapuan.co - Fenomena rojali mendadak jadi perbincangan di internet. Topik "rojali" viral usai dikaitkan dengan menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah ke atas.
Rojali alias rombongan jarang beli jadi sorotan, terutama di tengah meningkatnya kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan yang tidak sebanding dengan lonjakan transaksi belanja.
Fenomena ini merujuk pada perilaku konsumen yang datang berbondong-bondong ke mal atau pusat perbelanjaan, namun hanya sedikit yang benar-benar melakukan pembelian atau transaksi belanja di sana.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, fenomena rojali bukanlah hal baru. Perilaku ini sudah sering terjadi dan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat.
"Dikarenakan uang yang dipegang oleh masyarakat kelas menengah bawah semakin sedikit maka terjadi kecenderungan untuk berbelanja barang atau produk yang harga satuannya rendah atau murah," ujar Alphonzus dikutip dari Kontan.co.id.
Ia menjelaskan, kondisi ekonomi saat ini membuat masyarakat kelas menengah bawah menahan pengeluaran untuk kebutuhan sekunder. Mereka lebih memilih fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Meski demikian, ramainya pusat perbelanjaan tetap terlihat. Alphonzus menilai, hal ini karena fungsi mal yang kini tidak terbatas pada aktivitas jual beli saja.
"Pusat perbelanjaan kini dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat hiburan, edukasi, hingga berkumpul bersama keluarga," jelasnya.
Fakta ini menjelaskan mengapa mal tampak padat, tetapi transaksi belanja cenderung stagnan. Pengunjung mungkin hanya datang untuk berjalan-jalan, menikmati pendingin ruangan, melihat-lihat toko, atau sekadar mencari hiburan murah meriah.
Baca Juga: Risiko yang Akan Terjadi Jika Daya Beli Masyarakat Turun Pasca Berlakunya PPN 12 Persen