Mitos Pemerkosaan yang Menyudutkan Perempuan, Saatnya Menghentikan Stigma

Saras Bening Sumunar - Kamis, 10 Juli 2025
Mitos tentang pemerkosaan yang menyudutkan perempuan.
Mitos tentang pemerkosaan yang menyudutkan perempuan. Freepik

Salah satu mitos paling umum dan merugikan adalah anggapan bahwa pemerkosaan terjadi karena korban mengenakan pakaian yang mengundang hawa nafsu. Narasi ini tidak hanya menyesatkan, tapi juga mengalihkan tanggung jawab dari pelaku kepada korban.

Faktanya, banyak kasus pemerkosaan terjadi tanpa memandang apa yang dikenakan korban mulai dari seragam sekolah, pakaian kerja, hingga pakaian tertutup sekalipun. Untuk diketahui bahwa pada dasarnya pemerkosaan bukanlah tindakan seksual yang muncul karena hasrat semata, melainkan bentuk kekuasaan, kontrol, dan dominasi.

Dengan kata lain, tidak ada hubungan logis antara pakaian dan pemerkosaan. Fokus seharusnya bukan pada apa yang dipakai korban, tetapi pada siapa yang melakukan kekerasan tersebut.

2. Korban Pasti Menikmati Kalau Tidak Melawan atau Berteriak

Kamu mungkin pernah mendengar komentar seperti "kalau dia benar-benar tidak mau, kenapa tidak melawan?". Ini adalah pernyataan yang sangat menyakitkan dan tidak memahami kondisi psikologis korban dalam situasi pemerkosaan.

Banyak korban yang membeku atau tidak mampu bereaksi karena mengalami kondisi yang dikenal sebagai tonic immobility, yaitu respon tubuh terhadap trauma ekstrem. Ketika seseorang mengalami pemerkosaan, mereka bisa merasa sangat takut, tidak berdaya, dan kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Tidak semua korban bisa berteriak, memukul, atau berlari.

Oleh karena itu, tidak adanya perlawanan fisik bukan berarti adanya persetujuan. Persetujuan hanya sah jika diberikan secara bebas, sadar, dan tanpa paksaan.

3. Perempuan Sering Membuat Cerita Palsu

Baca Juga: Mengenal Sosok Dua Srikandi DPR yang Menangis Bahas Pemerkosaan Mei 1998

Banyak orang percaya bahwa laporan pemerkosaan sering kali palsu, digunakan sebagai alat balas dendam atau mencari perhatian. Ini adalah asumsi yang sangat merugikan dan tak berdasar. 

Sayangnya, mitos ini lah yang membuat banyak perempuan enggan melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya karena takut dianggap bohong atau dilecehkan ulang oleh sistem hukum. Padahal, keberanian untuk melaporkan adalah langkah besar yang harus dihargai dan didukung sepenuhnya.

4. Perempuan Menyesal Setelah Berhubungan Intim dan Menyebutkan Pemerkosaan

Ini adalah salah satu mitos paling kejam karena mempertanyakan integritas dan pengalaman korban secara langsung. Menyatakan bahwa seorang perempuan menyebut pemerkosaan hanya karena menyesal setelah berhubungan seks adalah bentuk gaslighting sosial yang sangat membahayakan.

Pemerkosaan adalah tindakan kekerasan, bukan konsekuensi dari penyesalan. Jika tidak ada persetujuan atau terjadi pemaksaan dalam bentuk apa pun, maka itu adalah pemerkosaan.

5. Pemerkosaan Hanya Dilakukan Orang Asing

Mitos ini menggambarkan pemerkosa sebagai sosok asing yang menyerang. Padahal, pelaku bisa saja teman, kolega, pacar, bahkan anggota keluarga sendiri.

Mitos ini membuat banyak korban merasa bingung dan tidak yakin apakah yang mereka alami layak disebut pemerkosaan, terutama jika pelaku adalah orang yang mereka kenal atau cintai.

Kamu perlu memahami bahwa pemerkosaan tetaplah pemerkosaan, tidak peduli siapa pelakunya, di mana tempatnya, dan apa relasi korban dengan pelaku. Kekerasan seksual tidak dibenarkan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam relasi yang telah ada, seperti pernikahan atau pacaran.

Kawan Puan, kamu harus mulai menyadari bahwa mitos-mitos tentang pemerkosaan bukan hanya salah secara fakta, tetapi juga sangat berbahaya karena memperkuat budaya diam, menyalahkan korban, dan melemahkan sistem perlindungan hukum.

Untuk membangun masyarakat yang adil dan aman bagi perempuan, kita perlu memutus rantai narasi keliru yang selama ini diwariskan turun-temurun.

Baca Juga: Keraguan Fadil Zon Soal Pemerkosaan Massal 1998, Kesaksian, dan Luka Kolektif Perempuan

(*)