Memahami Anomali Curah Hujan: Saat Musim Kemarau Justru Dihujani Air Langit

Arintha Widya - Rabu, 9 Juli 2025
Anomali curah hujan sebagaimana diungkap BMKG.
Anomali curah hujan sebagaimana diungkap BMKG. BirdShutterB

Parapuan.co - Indonesia tengah mengalami fenomena cuaca yang tidak biasa, yakni anomali curah hujan atau yang lebih dikenal sebagai kemarau basah. Dalam kondisi ini, curah hujan justru meningkat meskipun secara kalender seharusnya wilayah-wilayah di Indonesia sudah memasuki musim kemarau.

Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, fenomena ini diperkirakan akan berlangsung cukup lama. "Hasil prediksi curah hujan bulanan menunjukkan bahwa anomali curah hujan yang sudah terjadi sejak Mei 2025 akan terus berlangsung dengan kondisi curah hujan di atas normal di sebagian besar wilayah Indonesia hingga Oktober 2025," ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Jumat (8/7/2025).

Apa Itu Anomali Curah Hujan atau Kemarau Basah?

Kemarau basah adalah kondisi ketika hujan tetap turun dengan intensitas cukup tinggi walaupun berada dalam periode musim kemarau. Biasanya, musim kemarau identik dengan cuaca panas, langit cerah, dan kelembaban rendah. Namun dalam fenomena kemarau basah, udara tetap lembab dan hujan sering terjadi.

BMKG menjelaskan bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor atmosfer dan perubahan iklim yang mengganggu pola cuaca normal di Indonesia. "Tingginya curah hujan di musim kemarau ini merupakan dampak dari anomali iklim atau musim kemarau basah," demikian penjelasan BMKG yang dikutip dari laman Kompas.com (19/5/2025).

Penyebab Anomali Curah Hujan

Ada sejumlah faktor atmosferik yang memicu terjadinya anomali curah hujan, di antaranya:

1. Melemahnya Monsun Australia, yang biasanya membawa udara kering ke wilayah Indonesia.

2. Suhu muka laut yang tetap hangat di wilayah selatan Indonesia, yang meningkatkan penguapan dan pembentukan awan.

Baca Juga: Curah Hujan Masih Tinggi, Waspada 4 Penyakit Ini Mengintai Keluarga

3. Aktivitas gelombang atmosfer tropis seperti Madden Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby Ekuator, yang membawa uap air dan memicu hujan lebat.

4. Konvergensi angin di barat dan selatan Pulau Jawa, yang memusatkan kelembaban di wilayah tertentu.

5. Labilitas atmosfer tinggi, yang mempercepat pembentukan awan hujan.

Secara musiman, ketiga jenis gelombang atmosfer tropis—MJO, Kelvin, dan Rossby—berperan besar dalam membawa kelembaban udara dari Samudra Hindia ke wilayah Indonesia, meningkatkan kemungkinan hujan meskipun secara periodik seharusnya tidak terjadi.

Dampaknya bagi Kehidupan Sehari-hari

Fenomena anomali curah hujan ini tentu berdampak pada berbagai sektor, mulai dari pertanian, kesehatan, hingga infrastruktur.

Tanaman yang semestinya tumbuh di musim kemarau bisa rusak karena kelebihan air, dan meningkatnya kelembaban juga bisa memicu penyakit berbasis air dan udara seperti demam berdarah atau infeksi saluran pernapasan.

Masyarakat pun diimbau untuk tetap waspada dan mengikuti informasi terkini dari BMKG terkait prakiraan cuaca.

Pemahaman tentang kemarau basah menjadi penting agar kita bisa lebih siap menghadapi dampaknya dan melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim yang makin nyata.

Baca Juga: Mengenal Apa Itu Kemarau Basah dan Prediksi BMKG Terkait Perubahan Iklim

(*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya