Parapuan.co - Tingginya angka pengangguran di Indonesia masih menjadi tantangan besar, bahkan di kalangan terdidik. Data terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan bahwa pada tahun 2025, terdapat lebih dari 1 juta lulusan sarjana yang menganggur. Angka ini terungkap saat Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyampaikan keynote speech dalam acara Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, Rabu (2/7/2025), seperti mengutip Kompas.com.
Menurut data tersebut, tercatat ada 1.010.652 sarjana yang tidak bekerja, disusul lulusan diploma sebanyak 177.399 orang. Jika ditotal secara keseluruhan, pengangguran di Indonesia tahun ini mencapai 7,28 juta jiwa atau setara 4,76 persen dari total angkatan kerja.
Kenapa Banyak Sarjana Menganggur?
Fenomena menganggurnya para lulusan universitas ini tidak hanya soal kurangnya lapangan kerja. Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa Noel, menyebut bahwa penyebabnya cukup kompleks. Mulai dari ketidaksesuaian antara keterampilan sarjana dengan kebutuhan industri, ekspektasi gaji yang tinggi, hingga keengganan bekerja di wilayah terpencil.
"Pertama mungkin masalah salary. Jadi kan mereka sarjana tetapi ditawarkan gajinya (setara) lulusan SMA. Lalu lokasi (penempatan) dan kebutuhan industri tidak ketemu (dengan keterampilan para sarjana)," kata Noel.
Ia juga mengkritisi kecenderungan para sarjana yang hanya ingin bekerja di kota-kota besar atau lingkungan yang sudah nyaman secara fasilitas. Padahal, dari hasil sidak di daerah industri seperti Morowali, justru banyak perusahaan masih kekurangan tenaga kerja.
"Sarjana-sarjana ini kan terbiasa dengan kehidupan kita. Tiba-tiba dia harus ke kawasan yang enggak ada tempat hiburan dan lain-lain. Ini kan ngaruh ke psikologis mereka ya," tambahnya.
Solusi: Dari Reskilling hingga Optimalisasi Program Pemerintah
Pemerintah menyadari bahwa menyelesaikan masalah pengangguran, terutama di kalangan sarjana, tidak bisa dilakukan secara sepihak. Menurut Menaker Yassierli, solusi harus dilihat dari dua sisi: ketersediaan tenaga kerja (supply) dan permintaan tenaga kerja (demand).
Baca Juga: Simak, 3 Masalah yang Timbul Saat Menganggur dan Cara Mengatasinya
"Saya tetap melihat bahwa solusi pengangguran itu kita harus melihatnya dari dua sisi, yaitu supply dan demand. Saya bicara demand-nya dulu. Jadi, kondisi global itu adalah sesuatu yang memang kita harus mitigasi, tapi bersamaan dengan itu kondisi dalam negeri harus kita optimalkan," jelas Yassierli.
Beberapa program prioritas nasional yang tengah digarap pemerintah dinilai bisa membuka jutaan lapangan kerja baru, antara lain:
- Program Makan Bergizi Gratis
- Hilirisasi industri
- Ketahanan pangan dan energi
- Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih)
Presiden Prabowo sendiri menargetkan agar 80.000 Kopdes Merah Putih dapat berjalan pada 2025. Menaker Yassierli menyebut, bila tiap koperasi melibatkan 25 pengelola, maka program ini berpotensi menciptakan lebih dari 2 juta lapangan kerja.
Selain itu, Yassierli juga mendorong reskilling dan upskilling bagi para sarjana agar mereka bisa lebih siap masuk ke dunia kerja. Kerja sama antarkementerian terus dilakukan, misalnya pelatihan pengelola koperasi bersama Kementerian Koperasi.
"Kalau adanya lowongan itu, sementara dia butuh pekerjaan. Jadi mau tidak mau harus reskilling. Karena adanya lokernya itu," imbuh Noel.
Kerja ke Luar Negeri: Pilihan Terakhir
Di tengah tantangan ini, opsi bekerja di luar negeri tetap terbuka, namun pemerintah menekankan bahwa hal tersebut adalah jalan terakhir. "Jadi kita harus mengoptimalkan semua peluang. Yang pertama, peluang pertama itu sebenarnya adalah dari program prioritasnya Pak Presiden," ujar Yassierli.
Bila seluruh program dalam negeri belum mampu menampung, barulah peluang magang atau kerja ke luar negeri bisa dimanfaatkan secara terencana.
Fenomena 1 juta sarjana menganggur mencerminkan adanya ketimpangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Bukan hanya soal jumlah lapangan kerja, tetapi juga soal kesiapan lulusan dalam bersaing dan beradaptasi dengan realitas pasar kerja.
Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan untuk menekan angka ini, serta kesediaan para sarjana untuk terbuka terhadap peluang-peluang baru, termasuk yang ada di luar zona nyaman mereka.
Baca Juga: Prihatin Jutaan Warga RI Menganggur, Menteri Tenaga Kerja Janjikan Ini
(*)