Studi Soal Respon terhadap Perempuan Pelaku Kekerasan, Antara Pandangan dan Penghakiman

Arintha Widya - Selasa, 24 Juni 2025
Studi ini memahami bagaimana orang memandang pelaku kekerasan perempuan vs laki-laki.
Studi ini memahami bagaimana orang memandang pelaku kekerasan perempuan vs laki-laki. Hari Sucahyo

Parapuan.co - Sebuah penelitian baru yang diterbitkan dalam Violence and Gender menemukan fakta menarik terkait pandangan terhadap perempuan pelaku kekerasan. Saat menyaksikan perilaku agresif, orang cenderung lebih cepat menyorot dan menatap lebih lama wajah pelaku perempuan dibandingkan laki-laki. Namun, ketika menilai niat dan tingkat kesalahan, mereka menilai laki-laki dan perempuan secara setara.

Studi yang dikutip dari Psypost.org tersebut mencatat, "Orang melihat lebih cepat dan lebih lama pada wajah pelaku perempuan dibandingkan laki-laki. Namun, dalam hal menilai niat perilaku—apakah itu disengaja—tidak ditemukan perbedaan. Jika pun ada, perempuan cenderung sedikit kurang disalahkan."

Kenapa Perempuan Mendapat Perhatian Ekstra?

Para ilmuwan menduga bahwa agresi dari perempuan terasa “menyerempet” norma karena stereotip menganggap perempuan lebih lembut atau kurang agresif. Ketika seseorang menyimpang dari stereotip itu, otak otomatis mengalihkan perhatian ekstra untuk memahami, bukan langsung mengecam:

“Ada disonansi kognitif—ketika pengamat melihat ketidaksesuaian antara stereotip (perempuan lembut) dan apa yang terlihat (perempuan agresif), mereka otomatis memperhatikan lebih dalam.”

Artinya, perhatian visual meningkat bukan karena agresi perempuan dianggap lebih buruk, melainkan karena hal itu bertolak belakang dengan ekspektasi sosial.

Metodologi Tiga Studi: Umum & Narapidana

Penelitian ini dibagi menjadi tiga studi independen:

1. Sebanyak 122 responden masyarakat umum melihat adegan ambigu—tidak jelas sengaja atau tidak—dengan versi pelaku laki-laki dan perempuan. Hasilnya, mereka lebih cepat dan lama melihat wajah perempuan, namun penilaian niat dan kesalahan setara.

Baca Juga: Pembunuhan Mahasiswi di Bangkalan, Menteri PPPA Ingatkan Hukuman Berat Pelaku Kekerasan

2. Sebanyak 120 responden tambahan diberi adegan yang sengaja memuat agresi jelas atau ambigu. Hasilnya konsisten: lebih banyak perhatian visual ke perempuan, sementara penilaian moral tetap setara.

3. Sebanyak 60 narapidana pelaku kekerasan juga terlibat. Mereka pun cepat mengalihkan pandangan ke pelaku perempuan, apalagi di adegan agresi nyata. Namun, dalam memberi penilaian moral, mereka memperlakukan pelaku perempuan dan laki-laki hampir sama—kecuali narapidana perempuan yang cenderung menilai niat agresi perempuan lebih tinggi .

Antara Mekanisme Tanpa Sadar dan Penilaian Rasional

Hasil studi ini mengilustrasikan dua mekanisme yang berbeda:

  • Perhatian otomatis (bottom‑up): Mata kita tertuju pada hal tidak lazim, seperti perempuan agresif—reaksi naluriah untuk memahami situasi.
  • Penilaian moral (top‑down): Saat diminta menilai niat dan kesalahan secara sadar, gender tidak lagi menjadi faktor signifikan.

Hal ini menunjukkan bahwa perhatian visual tidak langsung berbanding lurus dengan kecenderungan menghukum atau menyalahkan.

Implikasi Sosial dan Hukum

Temuan ini penting dalam berbagai konteks:

  • Sistem peradilan: Jika hakim atau juri terganggu oleh visual agresi yang “tidak sesuai stereotip”, ada risiko bias dalam penilaian awal.
  • Kebijakan publik: Kesadaran ini perlu dijadikan bahan sosialisasi bahwa pemberian hukuman harus didasarkan fakta, bukan impresi awal.
  • Pelatihan profesi: Polisi, pengacara, jurnalis bisa dilatih menyadari bias perhatian ini agar lebih objektif.

Catatan Lain dari Studi Statistik Kekerasan Gender

Studi lain menunjukkan bahwa secara umum laki-laki lebih sering melakukan kekerasan fisik, sementara perempuan cenderung agresi secara tersembunyi (gossip, sosial exclusion).

Baca Juga: Kenapa Figur Panutan Justru Rentan Jadi Pelaku Kekerasan Seksual?

Meski demikian, kekerasan perempuan tetap membutuhkan perhatian serius, dan bias “benevolent sexism” dapat menyebabkan mereka dinilai lebih ringan.

Penelitian ini membuka mata kita bahwa perhatian visual terhadap agresi perempuan lebih besar karena ia tak lazim, bukan karena dianggap lebih berbahaya.

Namun, ketika menilai niat dan kesalahan secara sadar, gender tidak lagi menjadi pembeda utama. Ini mengingatkan kita untuk tidak terbawa reaksi naluriah dalam mengambil keputusan—terutama di ranah hukum dan sosial.

Dengan memahami perbedaan antara reaksi otomatis dan penilaian rasional, masyarakat bisa bergerak menuju penilaian yang lebih adil dan bebas stereotip.

(*)

Sumber: Psypost
Penulis:
Editor: Arintha Widya