Studi Soal Respon terhadap Perempuan Pelaku Kekerasan, Antara Pandangan dan Penghakiman

Arintha Widya - Selasa, 24 Juni 2025
Studi ini memahami bagaimana orang memandang pelaku kekerasan perempuan vs laki-laki.
Studi ini memahami bagaimana orang memandang pelaku kekerasan perempuan vs laki-laki. Hari Sucahyo

2. Sebanyak 120 responden tambahan diberi adegan yang sengaja memuat agresi jelas atau ambigu. Hasilnya konsisten: lebih banyak perhatian visual ke perempuan, sementara penilaian moral tetap setara.

3. Sebanyak 60 narapidana pelaku kekerasan juga terlibat. Mereka pun cepat mengalihkan pandangan ke pelaku perempuan, apalagi di adegan agresi nyata. Namun, dalam memberi penilaian moral, mereka memperlakukan pelaku perempuan dan laki-laki hampir sama—kecuali narapidana perempuan yang cenderung menilai niat agresi perempuan lebih tinggi .

Antara Mekanisme Tanpa Sadar dan Penilaian Rasional

Hasil studi ini mengilustrasikan dua mekanisme yang berbeda:

  • Perhatian otomatis (bottom‑up): Mata kita tertuju pada hal tidak lazim, seperti perempuan agresif—reaksi naluriah untuk memahami situasi.
  • Penilaian moral (top‑down): Saat diminta menilai niat dan kesalahan secara sadar, gender tidak lagi menjadi faktor signifikan.

Hal ini menunjukkan bahwa perhatian visual tidak langsung berbanding lurus dengan kecenderungan menghukum atau menyalahkan.

Implikasi Sosial dan Hukum

Temuan ini penting dalam berbagai konteks:

  • Sistem peradilan: Jika hakim atau juri terganggu oleh visual agresi yang “tidak sesuai stereotip”, ada risiko bias dalam penilaian awal.
  • Kebijakan publik: Kesadaran ini perlu dijadikan bahan sosialisasi bahwa pemberian hukuman harus didasarkan fakta, bukan impresi awal.
  • Pelatihan profesi: Polisi, pengacara, jurnalis bisa dilatih menyadari bias perhatian ini agar lebih objektif.

Catatan Lain dari Studi Statistik Kekerasan Gender

Studi lain menunjukkan bahwa secara umum laki-laki lebih sering melakukan kekerasan fisik, sementara perempuan cenderung agresi secara tersembunyi (gossip, sosial exclusion).

Baca Juga: Kenapa Figur Panutan Justru Rentan Jadi Pelaku Kekerasan Seksual?

Meski demikian, kekerasan perempuan tetap membutuhkan perhatian serius, dan bias “benevolent sexism” dapat menyebabkan mereka dinilai lebih ringan.

Penelitian ini membuka mata kita bahwa perhatian visual terhadap agresi perempuan lebih besar karena ia tak lazim, bukan karena dianggap lebih berbahaya.

Namun, ketika menilai niat dan kesalahan secara sadar, gender tidak lagi menjadi pembeda utama. Ini mengingatkan kita untuk tidak terbawa reaksi naluriah dalam mengambil keputusan—terutama di ranah hukum dan sosial.

Dengan memahami perbedaan antara reaksi otomatis dan penilaian rasional, masyarakat bisa bergerak menuju penilaian yang lebih adil dan bebas stereotip.

(*)

Sumber: Psypost
Penulis:
Editor: Arintha Widya