Tekanan dari Lingkungan dan Pemerintah
Dalam masyarakat tertentu, dorongan untuk segera menikah dan punya anak datang dari berbagai arah, mulai dari keluarga hingga pemerintah. Dr. Kanem mencontohkan, "Dalam beberapa kasus, tetangga sebelah bisa saja terus mendesak Anda untuk menikah sebelum terlambat."
"Di lain waktu, pemerintah memasang iklan yang intinya menyampaikan pesan yang sama. Dan dalam beberapa situasi, negara bahkan memberlakukan pembatasan atas akses kontrasepsi dan layanan reproduksi," paparnya lagi.
Namun, laporan UNFPA memperingatkan bahwa kebijakan koersif semacam itu — termasuk pembatasan aborsi atau insentif seperti “bonus bayi” senilai $5.000 — tidak efektif dalam jangka panjang. Justru, pendekatan seperti itu bisa berbalik merugikan.
"Kami juga melihat bahwa ketika orang merasa pilihan reproduksinya dikendalikan, bahkan jika hanya dipersepsikan demikian, mereka bereaksi dengan cara yang berlawanan — mereka jadi enggan punya anak," tegas Kanem.
Solusinya: Pilihan Nyata untuk Semua Orang
UNFPA menegaskan bahwa solusi untuk menurunnya angka kelahiran bukanlah dengan memaksa orang memiliki anak, tetapi dengan memastikan mereka memiliki pilihan nyata. Termasuk di dalamnya adalah jaminan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, pembagian beban rumah tangga yang adil, dan sistem dukungan sosial yang memadai.
"Jelas," kata Kanem, "Jawabannya bukan membatasi pilihan atau menentukan siapa yang boleh membuat pilihan; jawabannya adalah memperluas pilihan nyata bagi semua orang."
Kawan Puan, laporan ini menjadi peringatan keras bagi dunia bahwa membangun keluarga bukan sekadar urusan kemauan, tapi juga peluang.
Jika negara ingin mendorong angka kelahiran yang sehat dan berkelanjutan, maka langkah pertama yang harus diambil adalah menciptakan lingkungan yang benar-benar memungkinkan orang untuk memilih — dan merealisasikan — kehidupan keluarga yang mereka inginkan.
Baca Juga: Jepang Catat Angka Kelahiran Terendah dalam Satu Abad, Apa Penyebabnya?
(*)