Ketika Dunia Tak Ramah untuk Membesarkan Anak, Alasan di Balik Krisis Kelahiran Global

Arintha Widya - Rabu, 11 Juni 2025
UNFPA ungkap penyebab krisis kelahiran global.
UNFPA ungkap penyebab krisis kelahiran global. Cecilia Escudero

Parapuan.co - Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pemerintah konservatif dunia kerap menyalahkan generasi muda karena dianggap enggan menjadi orangtua. Namun, laporan terbaru dari Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA - United Nations Population Fund) justru menyampaikan hal yang sangat berbeda.

Bukan keengganan, melainkan kurangnya pilihan yang menjadi alasan utama orang-orang tidak memiliki jumlah anak sesuai keinginan mereka. Turunnya angka kelahiran dipengaruhi pula oleh sistem yang berdampak pada keputusan generasi muda untuk memiliki keturunan. Simak dulu informasi yang dilansir dari The Guardian ini!

Masalahnya Bukan Keinginan, Tapi Kesempatan

Laporan "State of World Population 2025" dari UNFPA mengungkapkan bahwa jutaan orang di dunia saat ini tidak bisa membangun keluarga seperti yang mereka dambakan. Penyebabnya adalah kombinasi beracun antara tekanan ekonomi dan ketimpangan gender yang masih sangat kuat.

"Masalahnya adalah kurangnya pilihan, bukan kurangnya keinginan, dan ini berdampak besar pada individu maupun masyarakat," kata Dr. Natalia Kanem, Direktur Eksekutif UNFPA.

"Inilah krisis kesuburan yang sebenarnya, dan solusinya adalah dengan memenuhi apa yang sebenarnya dibutuhkan orang: cuti keluarga yang dibayar, akses perawatan kesuburan yang terjangkau, dan pasangan yang suportif," imbuhnya.

Hambatan Utama: Ekonomi, Ketimpangan, dan Ketidakpastian Masa Depan

Survei yang dilakukan YouGov di 14 negara untuk mendukung laporan ini menunjukkan hampir 1 dari 5 responden mengatakan mereka tidak memiliki jumlah anak sesuai keinginan. Sebanyak 39% responden menyebut bahwa kendala keuangan menjadi faktor utama mereka menunda atau mengurangi jumlah anak.

Selain itu, perempuan hampir dua kali lebih mungkin dibanding laki-laki untuk menyebut ketimpangan beban pekerjaan rumah tangga sebagai alasan mereka menunda punya anak. Kekhawatiran terhadap masa depan, mulai dari perubahan iklim hingga konflik global, juga membuat banyak orang membatasi ukuran keluarga mereka.

Baca Juga: Angka Kelahiran Menurun, Benarkah karena Perempuan Enggan Menikah?

Tekanan dari Lingkungan dan Pemerintah

Dalam masyarakat tertentu, dorongan untuk segera menikah dan punya anak datang dari berbagai arah, mulai dari keluarga hingga pemerintah. Dr. Kanem mencontohkan, "Dalam beberapa kasus, tetangga sebelah bisa saja terus mendesak Anda untuk menikah sebelum terlambat."

"Di lain waktu, pemerintah memasang iklan yang intinya menyampaikan pesan yang sama. Dan dalam beberapa situasi, negara bahkan memberlakukan pembatasan atas akses kontrasepsi dan layanan reproduksi," paparnya lagi.

Namun, laporan UNFPA memperingatkan bahwa kebijakan koersif semacam itu — termasuk pembatasan aborsi atau insentif seperti “bonus bayi” senilai $5.000 — tidak efektif dalam jangka panjang. Justru, pendekatan seperti itu bisa berbalik merugikan.

"Kami juga melihat bahwa ketika orang merasa pilihan reproduksinya dikendalikan, bahkan jika hanya dipersepsikan demikian, mereka bereaksi dengan cara yang berlawanan — mereka jadi enggan punya anak," tegas Kanem.

Solusinya: Pilihan Nyata untuk Semua Orang

UNFPA menegaskan bahwa solusi untuk menurunnya angka kelahiran bukanlah dengan memaksa orang memiliki anak, tetapi dengan memastikan mereka memiliki pilihan nyata. Termasuk di dalamnya adalah jaminan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, pembagian beban rumah tangga yang adil, dan sistem dukungan sosial yang memadai.

"Jelas," kata Kanem, "Jawabannya bukan membatasi pilihan atau menentukan siapa yang boleh membuat pilihan; jawabannya adalah memperluas pilihan nyata bagi semua orang."

Kawan Puan, laporan ini menjadi peringatan keras bagi dunia bahwa membangun keluarga bukan sekadar urusan kemauan, tapi juga peluang.

Jika negara ingin mendorong angka kelahiran yang sehat dan berkelanjutan, maka langkah pertama yang harus diambil adalah menciptakan lingkungan yang benar-benar memungkinkan orang untuk memilih — dan merealisasikan — kehidupan keluarga yang mereka inginkan.

Baca Juga: Jepang Catat Angka Kelahiran Terendah dalam Satu Abad, Apa Penyebabnya?

(*)

Sumber: The Guardian
Penulis:
Editor: Arintha Widya