"Pendidikan bukan pelindung dari ketidaksetaraan. Bahkan dengan gelar profesional, perempuan tetap menghadapi jurang upah yang sulit dijembatani," demikian keterangan salah satu temuan dalam laporan "2025 Gender Pay Gap Report" Payscale Inc.
Kepemimpinan Masih Didominasi Pria
Masalah juga muncul dalam akses ke posisi kepemimpinan. Hanya 5% perempuan kulit putih yang berhasil mencapai tingkat eksekutif, lebih rendah dibandingkan pria kulit putih (7%). Perempuan dari kelompok minoritas bahkan lebih sedikit lagi—hanya 3–4%.
Ironisnya, ketika berhasil pun, perempuan di posisi puncak masih dibayar lebih rendah: mereka hanya memperoleh 93 sen (dengan kontrol jabatan) dan 72 sen (tanpa kontrol) dibanding rekan pria.
Faktor Fleksibilitas dan Budaya Kerja
Banyak perempuan memilih bertahan di pekerjaan dengan jadwal fleksibel, meski dibayar lebih rendah, karena sulit menemukan opsi serupa di tempat lain. Budaya kerja dan keseimbangan hidup juga menjadi pertimbangan besar. Akibatnya, perempuan yang tidak mencari pekerjaan baru cenderung tetap dalam posisi bergaji lebih rendah.
"Budaya kerja yang mendukung dan transparansi gaji meningkatkan kepercayaan dan loyalitas. Itulah sebabnya perusahaan yang tidak adil kerap ditinggalkan oleh pekerja perempuan," lanjut Lulu Seikaly.
Apakah Ada Harapan?
Meski secara nasional stagnan, ada secercah harapan dari tingkat negara bagian. Negara-negara seperti California, Maryland, dan Washington D.C. berhasil menutup kesenjangan gaji yang dikontrol (dengan mempertimbangkan jabatan dan pengalaman). Undang-undang transparansi gaji terbukti mendukung upaya kesetaraan upah, dan kini semakin banyak perusahaan yang secara sukarela mencantumkan kisaran gaji dalam lowongan kerja, meski tidak diwajibkan hukum.
Menurut Ruth Thomas, ahli strategi ekuitas gaji di Payscale, "Meskipun dukungan publik terhadap inisiatif Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) sempat melemah, komitmen perusahaan terhadap kesetaraan upah justru naik 19% sejak 2020. Ini sinyal positif bahwa perubahan bisa tetap terjadi."
Jadi, jawabannya adalah, ya, perempuan masih digaji lebih rendah dibandingkan laki-laki di tahun 2025. Meskipun ada perbaikan di beberapa wilayah dan sektor, struktur sistemik, norma gender, dan kurangnya representasi perempuan dalam posisi strategis masih menjadi penghalang utama.
Kesetaraan upah bukan sekadar soal angka. Ini menyangkut keadilan sosial, pengakuan profesional, dan hak dasar setiap pekerja tanpa melihat gender. Selama hambatan struktural belum dibongkar, dan transparansi serta keadilan belum menjadi norma universal, perjuangan menuju upah setara masih jauh dari selesai.
Baca Juga: Terjadi Kesenjangan Gender Pengangguran, Perempuan Karier Tertinggal di Pasar Kerja?
(*)