Parapuan.co - Dunia kerja memang terus berubah, demikian pula dengan regulasinya. Namun, meski ada inklusivitas dan kesetaraan yang dikampanyekan, masih ada kenyataan pahit yang rasanya harus dihadapi oleh banyak perempuan di tahun 2025, yaitu mereka masih digaji lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Menurut "2025 Gender Pay Gap Report" yang dirilis oleh Payscale Inc., kesenjangan gaji antara perempuan dan laki-laki belum menunjukkan kemajuan signifikan. Perempuan di Amerika Serikat masih hanya menghasilkan 83 sen untuk setiap satu dolar yang diperoleh laki-laki.
Angka ini tidak berubah dari tahun sebelumnya, dan bahkan Equal Pay Day—hari simbolis saat penghasilan perempuan menyamai pendapatan tahunan pria tahun sebelumnya—mundur lebih dari dua minggu dibanding 2024 lalu.
"Sangat mengecewakan melihat kurangnya kemajuan dalam menutup kesenjangan gaji gender. Selain menjadi hal yang benar untuk dilakukan, membayar secara adil tanpa diskriminasi juga merupakan kewajiban hukum," ujar Lulu Seikaly, pengacara ketenagakerjaan senior di Payscale seperti dikutip dari Morning Star.
Sistemik dan Multidimensi
Kesenjangan ini tidak sekadar persoalan angka, melainkan mencerminkan hambatan struktural dan norma sosial yang masih kuat. Contohnya, ibu bekerja masih menghadapi penalti finansial signifikan. Ibu hanya memperoleh 75 sen untuk setiap satu dolar yang diperoleh ayah, dan kesenjangan ini lebih parah bagi perempuan kulit berwarna, semisal ibu dari komunitas Indian Amerika dan Alaska hanya menghasilkan 64 sen per dolar ayah.
Sementara itu, menjadi ayah justru membawa keuntungan. Laki-laki yang memiliki anak mendapat 2% lebih tinggi dari merkea yang tidak memiliki anak. Ini memperkuat asumsi bahwa sistem kerja masih memihak model keluarga tradisional dengan ayah sebagai pencari nafkah utama.
Pendidikan Tinggi Bukan Jaminan
Memiliki gelar tinggi pun tidak menjamin keadilan upah. Perempuan dengan gelar MBA hanya menerima 77 sen untuk setiap dolar yang diperoleh laki-laki dengan gelar serupa. Bahkan di profesi seperti hukum dan kesehatan, kesenjangan masih mencolok, meski sedikit lebih kecil (masing-masing 87 sen dan 89 sen).
Baca Juga: Gaji Rendah Bukan Alasan Utama Orang Meninggalkan Pekerjaan, Lalu Apa?
"Pendidikan bukan pelindung dari ketidaksetaraan. Bahkan dengan gelar profesional, perempuan tetap menghadapi jurang upah yang sulit dijembatani," demikian keterangan salah satu temuan dalam laporan "2025 Gender Pay Gap Report" Payscale Inc.
Kepemimpinan Masih Didominasi Pria
Masalah juga muncul dalam akses ke posisi kepemimpinan. Hanya 5% perempuan kulit putih yang berhasil mencapai tingkat eksekutif, lebih rendah dibandingkan pria kulit putih (7%). Perempuan dari kelompok minoritas bahkan lebih sedikit lagi—hanya 3–4%.
Ironisnya, ketika berhasil pun, perempuan di posisi puncak masih dibayar lebih rendah: mereka hanya memperoleh 93 sen (dengan kontrol jabatan) dan 72 sen (tanpa kontrol) dibanding rekan pria.
Faktor Fleksibilitas dan Budaya Kerja
Banyak perempuan memilih bertahan di pekerjaan dengan jadwal fleksibel, meski dibayar lebih rendah, karena sulit menemukan opsi serupa di tempat lain. Budaya kerja dan keseimbangan hidup juga menjadi pertimbangan besar. Akibatnya, perempuan yang tidak mencari pekerjaan baru cenderung tetap dalam posisi bergaji lebih rendah.
"Budaya kerja yang mendukung dan transparansi gaji meningkatkan kepercayaan dan loyalitas. Itulah sebabnya perusahaan yang tidak adil kerap ditinggalkan oleh pekerja perempuan," lanjut Lulu Seikaly.
Apakah Ada Harapan?
Meski secara nasional stagnan, ada secercah harapan dari tingkat negara bagian. Negara-negara seperti California, Maryland, dan Washington D.C. berhasil menutup kesenjangan gaji yang dikontrol (dengan mempertimbangkan jabatan dan pengalaman). Undang-undang transparansi gaji terbukti mendukung upaya kesetaraan upah, dan kini semakin banyak perusahaan yang secara sukarela mencantumkan kisaran gaji dalam lowongan kerja, meski tidak diwajibkan hukum.
Menurut Ruth Thomas, ahli strategi ekuitas gaji di Payscale, "Meskipun dukungan publik terhadap inisiatif Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) sempat melemah, komitmen perusahaan terhadap kesetaraan upah justru naik 19% sejak 2020. Ini sinyal positif bahwa perubahan bisa tetap terjadi."
Jadi, jawabannya adalah, ya, perempuan masih digaji lebih rendah dibandingkan laki-laki di tahun 2025. Meskipun ada perbaikan di beberapa wilayah dan sektor, struktur sistemik, norma gender, dan kurangnya representasi perempuan dalam posisi strategis masih menjadi penghalang utama.
Kesetaraan upah bukan sekadar soal angka. Ini menyangkut keadilan sosial, pengakuan profesional, dan hak dasar setiap pekerja tanpa melihat gender. Selama hambatan struktural belum dibongkar, dan transparansi serta keadilan belum menjadi norma universal, perjuangan menuju upah setara masih jauh dari selesai.
Baca Juga: Terjadi Kesenjangan Gender Pengangguran, Perempuan Karier Tertinggal di Pasar Kerja?
(*)