Parapuan.co - Istilah grey divorce atau perceraian usia senja semakin sering disebut setidaknya beberapa tahun belakangan. Tingkat perceraian di antara pasangan berusia 65 tahun ke atas adalah 15% pada tahun 2022, sekitar tiga kali lipat dari tingkat tersebut pada tahun 1990-an untuk kelompok usia yang sama, menurut Institute for Family Studies.
Angka-angka ini membuka mata karena tingkat perceraian secara keseluruhan telah menurun secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Sementara itu, menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, tingkat perceraian dan pembatalan pernikahan di AS secara keseluruhan pada tahun 2020-an memiliki kisaran rendah, yakni 2,3-2,5% per 1.000 total populasi.
Tahun dengan tingkat perceraian tertinggi terjadi pada tahun 2020, yaitu puncak pandemi COVID-19. Pada tahun 2022 terjadi 673.989 perceraian dan pembatalan pernikahan di AS. Namun, terlepas dari angkanya, sebenarnya apa yang membuat pasangan berpisah di usia yang sudah senja? Simak informasi yang dilansir Hindustan Times berikut ini!
Apa Itu Grey Divorce?
Grey divorce merujuk pada keputusan untuk bercerai yang terjadi pada pasangan lansia—biasanya di atas usia 50 tahun—yang telah menjalani pernikahan dalam waktu yang lama. Dalam beberapa kasus, pasangan tidak benar-benar mengurus perceraian secara hukum, namun memilih hidup terpisah: ada yang tinggal sendiri, bersama anak-anak, atau di tempat lain.
Fenomena ini menjadi semakin umum, terutama karena perubahan nilai-nilai dalam pernikahan dan pergeseran peran dalam keluarga.
Penyebab Umum Grey Divorce
1. Pernikahan Berdasarkan Kewajiban, Bukan Kecocokan Emosional
Banyak pasangan generasi sebelumnya menikah dengan fondasi tanggung jawab dan komitmen, bukan karena kedekatan emosional. Seiring waktu, individu dalam pernikahan bisa tumbuh ke arah yang berbeda dan menyadari bahwa hubungan tersebut sudah tidak lagi bermakna atau memuaskan secara batin.
Baca Juga: Mitos Keliru Tentang Perceraian yang Dipercaya Pasangan yang Punya Anak
2. Sindrom Sarang Kosong (Empty Nest Syndrome)
Setelah anak-anak dewasa dan meninggalkan rumah, pasangan lansia kerap merasa kehilangan tujuan bersama. Saat tidak ada lagi "proyek bersama" seperti membesarkan anak, mereka menyadari sudah tidak memiliki banyak kesamaan atau koneksi emosional satu sama lain.
3. Perselingkuhan dan Kebutuhan Emosional yang Tak Terpenuhi
Baik perselingkuhan fisik maupun emosional kian menjadi alasan terjadinya grey divorce. Saat pasangan merasa kurang dihargai atau tidak mendapatkan kehangatan emosional di rumah, mereka mungkin mencari hubungan baru yang lebih memberi makna secara emosional.
4. Perbedaan dalam Hal Keuangan dan Kemandirian Finansial
Perempuan lansia masa kini cenderung lebih mandiri secara finansial dibanding generasi sebelumnya. Hal ini bisa memicu ketegangan dalam pernikahan, terutama jika terdapat ketidaksepahaman soal rencana pensiun atau pengelolaan keuangan.
Dampak Emosional yang Dihadapi
Perceraian di usia senja bisa memunculkan krisis identitas. Banyak yang bertanya pada diri sendiri, “Siapa saya tanpa pasangan saya?” Setelah sekian lama menjalani hidup sebagai bagian dari ‘kami’, transisi menuju ‘saya’ bisa terasa membingungkan dan menyakitkan.
Ada pula kehilangan jejaring sosial yang sebelumnya dibangun bersama pasangan, seperti hubungan dengan keluarga besar atau teman-teman. Ditambah lagi, masyarakat kadang memandang sinis perceraian di usia tua, menganggapnya tidak perlu karena dianggap "sudah di ujung jalan".
Baca Juga: Waspada 7 Red Flag Pernikahan yang Bisa Berujung pada Perceraian
Perasaan kesepian, takut menghadapi masa depan sendiri, dan rasa cemas karena tak memiliki pendamping hidup, menjadi tantangan mental yang besar.
Pengaruh pada Kesehatan Mental
Bagi mereka yang memiliki kehidupan pribadi yang memuaskan dan dukungan sosial yang kuat, grey divorce justru bisa membuka lembaran baru yang lebih membahagiakan. Mereka merasa bebas dan siap menjalani hidup yang lebih otentik.
Namun, bagi yang minim dukungan sosial, belum mandiri secara ekonomi, atau tidak memiliki rutinitas yang terstruktur, perceraian bisa memicu depresi, kecemasan, rasa kehilangan mendalam, bahkan masalah kesehatan fisik akibat stres berkepanjangan.
Strategi Menghadapi Perceraian di Usia Lanjut
- Bangun Rutinitas Sehat
Memiliki rutinitas harian membantu menjaga stabilitas emosi. Bangun pagi, olahraga ringan, makan sehat, dan rawat diri adalah langkah penting untuk memulihkan diri.
- Pererat Kembali Hubungan Sosial
Hubungi kembali teman lama atau saudara yang mungkin lama tak berkomunikasi. Jika perlu, ikuti kegiatan sosial atau komunitas baru. Ini dapat mengurangi rasa sepi dan membuka peluang untuk hubungan baru.
- Kelola Keuangan dengan Bijak
Pahami kondisi keuangan pasca-perceraian. Buat perencanaan jangka panjang dan hindari pengeluaran impulsif. Konsultasi dengan perencana keuangan bisa menjadi solusi cerdas.
- Cari Bantuan Profesional
Terapis atau life coach bisa membantu menjernihkan pikiran dan membimbing proses adaptasi. Bantuan profesional sangat bermanfaat untuk menyusun ulang kehidupan pasca-perceraian.
Baca Juga: Perempuan Harus Aware, Inilah 4 Faktor yang Kerap Menjadi Alasan Perceraian
(*)