Sementara anak-anak pra-remaja dan remaja juga harus dibatasi dalam cara mereka menggunakan media sosial untuk membandingkan kecantikan dan penampilan, serta dipantau untuk mengetahui tanda-tanda penggunaan media sosial yang bermasalah hingga mungkin dapat mengganggu rutinitas harian, tidur, atau aktivitas fisik mereka.
"Kami berharap rekomendasi ini akan bermanfaat karena kita semua berusaha mengikuti perkembangan ekosistem media sosial yang berubah dengan cepat," kata Arthur C. Evans Jr, Phd.
Langkah Menciptakan Kebiasaan Bermedia Sosial yang Aman untuk Anak
Sebisa mungkin, anak sudah memasuki usia ideal untuk bermain media sosial, yakni saat mereka mencapai 17 tahun. Orang tua juga tetap memiliki peran aktif untuk menciptakan kebiasaan bermedia sosial yang anak, misalnya:
1. Mengenalkan Dunia Digital dengan Pendekatan Positif dan Edukatif
Langkah pertama untuk membangun kebiasaan bermedia sosial yang baik adalah dengan mengenalkan dunia digital secara perlahan dan bertahap, dimulai dari pemahaman akan fungsi, manfaat, serta risikonya.
Kamu bisa memulainya dengan membimbing anak menggunakan platform yang memiliki konten edukatif, seperti video pembelajaran, game interaktif sesuai usia, atau komunitas online pendukumg perkembangan minat dan bakat.
Dalam proses ini, penting untuk menanamkan bahwa teknologi adalah alat bantu, bukan pengganti kehidupan nyata. Tekankan bahwa media sosial sebaiknya digunakan untuk berkomunikasi dengan cara yang sopan, berbagi informasi valid, dan membangun hubungan positif, bukan mencari validasi atau membandingkan diri dengan orang lain.
Baca Juga: Dampak Buruk Terlalu Banyak Terpapar Media Sosial dan Dunia Digital
2. Menetapkan Batasan yang Jelas
Anak-anak, terutama dari Generasi Alpha yang sangat cepat beradaptasi dengan teknologi, memerlukan batasan jelas dalam menggunakan media sosial. Batasan ini tidak hanya mencakup durasi waktu penggunaan, tetapi juga konten boleh dan tidak boleh diakses, serta platform mana saja yang diperbolehkan.
Kamu bisa menerapkan kebijakan seperti waktu layar maksimal dua jam per hari, jam bebas gadget sebelum tidur, dan hanya menggunakan platform yang telah disetujui.
Terpenting adalah konsistensi dalam menerapkan aturan tersebut. Libatkan anak dalam proses pembuatan aturan agar mereka merasa dihargai dan lebih mudah untuk patuh.
3. Memberi Contoh Melalui Perilaku Digital
Kebiasaan anak dalam bermedia sosial sangat dipengaruhi oleh perilaku orang dewasa di sekitarnya. Oleh karena itu, kamu perlu memberikan contoh yang baik dengan menggunakan media sosial secara bijak, seperti tidak menyebarkan berita palsu, tidak mengunggah konten berlebihan, serta menjaga etika dalam berkomunikasi.
Dengan melihat kamu bersikap bijak di dunia digital, anak akan belajar secara alami bahwa media sosial adalah ruang yang perlu dijaga dengan tanggung jawab, empati, dan kesadaran. Hal ini juga menjadi kesempatan untuk membangun komunikasi dua arah yang terbuka antara kamu dan anak mengenai pengalaman mereka di media sosial.
4. Menjaga Keseimbangan antara Kehidupan Online dan Offline
Meskipun media sosial menjadi bagian dari kehidupan modern, penting bagi anak-anak untuk tetap memiliki keseimbangan antara aktivitas online dan offline. Dorong mereka untuk tetap bermain di luar rumah, membaca buku, berkegiatan seni, atau mengembangkan hobi yang tidak melibatkan layar.
Keseimbangan ini akan membantu anak untuk tidak menggantungkan kebahagiaannya pada jumlah likes atau followers. Sebaliknya, mereka menemukan kebahagiaan sejati dalam interaksi langsung dan kegiatan nyata. Kamu juga bisa menjadwalkan hari tanpa gadget sebagai upaya membangun kedekatan emosional dalam keluarga.
5. Membangun Rasa Percaya Diri dan Identitas Positif di Dunia Digital
Generasi Alpha dan Beta tumbuh dalam budaya yang menekankan penampilan dan popularitas di media sosial. Oleh karena itu, penting bagi kamu untuk membantu anak membangun rasa percaya diri yang tidak bergantung pada validasi digital.
Bimbing anak untuk mengekspresikan dirinya secara otentik, tanpa harus mengikuti tren semata. Ajarkan bahwa tidak apa-apa untuk berbeda, bahwa nilai diri mereka tidak diukur dari unggahan atau komentar, tetapi dari kepribadian dan tindakan mereka di dunia nyata maupun digital.
Baca Juga: Fenomena Remaja Mudah Terpengaruh Konten Media Sosial, Kenapa?
(*)