Parapuan.co - Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan harmoni sosial, penyelesaian konflik melalui jalur damai sering kali dianggap sebagai solusi terbaik. Namun, ketika pendekatan ini diterapkan pada kasus pelecehan seksual, terutama yang menimpa perempuan, hasilnya justru bisa menjadi bumerang.
Alih-alih memberikan keadilan, jalur damai sering kali memperpanjang penderitaan korban dan mengaburkan esensi keadilan itu sendiri. Misalnya kasus pelecehan seksual yang menempatkan penari jathil Reog Ponorogo bernama Nuzulul menjadi korbannya.
Awalnya, tak ada yang aneh dari penampilan Nuzulul, hingga tiba-tiba seorang laki-laki yakni Djemono menghampirinya. Djemono yang saat itu berada di bawah pengaruh minuman keras langsung memukul bokong Nuzulul.
Mengetahui kejadian tersebut, Nuzulul yang merasa dilecehkan langsung marah. Ia berteriak dan memaki-maki Djemono. Tak berhenti di situ, Nuzulul juga melaporkan kasus tersebut ke Polsek Sawoo.
Tapi, walaupun sudah dilaporkan pada pihak berwajib, kedua pelaku malah memilih 'jalan damai' dan menyelesaikan kasus pelecehan seksual secara kekeluargaan. Bukan itu saja, Nuzulul bahkan mencabut laporannya dari pihak kepolisian.
AKP Yudi Kristiawan, Kapolsek Sawoo menjelaskan kedua belah pihak bersedia menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan. Pelaku juga menyadari kesalahan yang telah diperbuat dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Jalur Damai Bukanlah Penyelesaian untuk Kasus Pelecehan Seksual
Dalam masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki, kasus pelecehan seksual sering kali tidak diproses secara adil, apalagi tuntas. Alih-alih mendapatkan keadilan, korban malah kerap ditekan untuk berdamai demi menjaga citra keluarga, institusi, atau bahkan pelaku yang memiliki kuasa.
Menurut penulis, jalur damai yang tampaknya menawarkan solusi cepat dan tanpa konflik, justru bisa menjadi ladang subur bagi impunitas pelaku. Lebih menyakitkan lagi, jalur ini memperkuat posisi perempuan sebagai korban sistemik yang terus disalahkan, dibungkam, dan dikorbankan demi kenyamanan sosial.
Baca Juga: Pelecehan Seksual pada Perempuan Tak Bisa Diselesaikan dengan Jalur Damai dan Kekeluargaan
Bayangkan kalau Kawan Puan berada di posisi seorang perempuan yang baru saja mengalami pelecehan seksual. Luka belum sembuh, trauma masih menyiksa, tapi kamu malah dihadapkan pada tekanan sosial, ekonomi, bahkan emosional agar tidak melanjutkan perkara ke jalur hukum.
"Sudahlah damai saja. Itu jalan yang terbaik. Tuhan saja Maha Pemaaf," begitu suara-suara orang yang berusaha membungkam kamu. Kata-kata tersebut mungkin terdengar seperti nasihat bijak, tetapi di baliknya tersembunyi normalisasi terhadap kekerasan dan pengabaian hak korban pelecehan seksual.
Bagi penulis, jalur damai disebut sebagai bentuk penyelesaian kekeluargaan atau musyawarah, yang dianggap lebih sopan, tidak memalukan, dan tidak merusak reputasi pihak-pihak yang terlibat. Namun, yang sering dilupakan adalah bahwa kejahatan seksual bukanlah konflik pribadi semata.
Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia, dan harus ditangani secara hukum. Ketika kamu memilih diam atau dipaksa diam, kamu tidak hanya kehilangan hak atas keadilan, tapi juga memperkuat sistem yang memungkinkan pelaku untuk bebas tanpa pertanggungjawaban.
Pada tahun 2023 lalu juga terdapat kasus pemerkosaan yang berakhir pada jalur damai. Saat itu, seorang anak berusia 15 tahun diperkosa oleh enam pelaku.
Sayangnya, kasus tersebut berakhir damai. Pihak-pihak yang mengetahui bahkan memberikan dukungan bukan malah menghentikan. Terkait kasus pelecehan seksual yang terjadi di Brebes, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang saat itu menjabat menyatakan keprihatinannya.
Ia menyayangkan proses penyelesaian kasus pemerkosaan yang berakhir damai setelah proses mediasi oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat. "Proses damai yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual mencederai rasa keadilan korban. Tidak ada kasus kekerasan seksual yang boleh diselesaikan secara damai dan tidak diproses secara hukum karena jelas bertentangan dengan undang-undang," ujarnya seperti mengutip dari laman Kompas.id.
Selain mencederai rasa keadilan sang korban, upaya damai yang tidak disertai proses hukum terhadap pelaku juga akan melanggengkan praktik kekerasan seksual karena tidak ada efek jera pada pelaku.
Karena itu, masyarakat, terutama korban dan keluarga korban pelecehan seksual, harus diingatkan agar jangan pernah menempuh upaya damai dengan jalan apa pun. Sebab, pelecehan seksual adalah bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang pelakunya harus diproses hukum. Kalau kasus ini terjadi pada kamu atau kerabat, jangan sekalipun menyelesaikannya dengan musyawarah dan kekeluargaan.
Ingat bahwa, pelecehan seksual termasuk kasus kekerasan yang pelakunya perlu mendapatkan hukuman pidana, bukan hanya menerima kata 'maaf' saja.
Baca Juga: Menyoroti Dampak Psikologis Pelecehan Seksual pada Anak Usia Dini
(*)