Kekerasan Digital Terhadap Jurnalis Perempuan Meningkat, Dewan Pers Bentuk Satgas Khusus

Arintha Widya - Kamis, 15 Mei 2025
Meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis perempuan.
Meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis perempuan. PCH-Vector

Parapuan.co - Mantan Ketua Dewan Pers periode 2022–2025, Ninik Rahayu, menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis dalam tiga tahun terakhir, terutama di ruang digital. Kondisi ini dinilainya sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers, terutama bagi jurnalis perempuan yang menjadi kelompok paling rentan.

"Soal upaya perlindungan kepada jurnalis, harus diakui tiga tahun terakhir, angka kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk, terutama melalui ruang digital, sangat tinggi," ungkap Ninik dalam acara serah terima jabatan anggota Dewan Pers, Rabu (14/5/2025), seperti dilansir dari Kompas.com.

Ia mengungkapkan fakta mencengangkan bahwa sebagian besar korban kekerasan seksual digital adalah perempuan. "Jurnalis perempuan, 87 persen, menjadi korban kekerasan seksual di ruang digital," lanjut Ninik.

Selain kekerasan berbasis gender di ruang siber, kekerasan fisik terhadap jurnalis juga masih marak terjadi di lapangan. Insiden-insiden tersebut tersebar di berbagai wilayah, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Fakta ini mencerminkan bahwa ancaman terhadap keselamatan jurnalis belum dapat diatasi secara menyeluruh.

Perlindungan Belum Komprehensif

Dalam paparannya, Ninik juga menyoroti bahwa sistem perlindungan bagi jurnalis korban kekerasan belum berjalan secara komprehensif. "Sampai hari ini, upaya perlindungan kepada jurnalis yang mengalami kekerasan belum terpenuhi secara sistematis," ujarnya.

Banyak kasus yang justru berhenti di tahap penyelidikan tanpa kejelasan hukum, sehingga menciptakan rasa tidak aman di kalangan jurnalis. "Jangan sampai pelaporan hanya jadi perjuangan tanpa hasil. Walau memang ada juga kasus yang berhasil ditindaklanjuti," tambahnya lagi.

Ninik menekankan pentingnya keberpihakan aparat penegak hukum dalam memastikan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak berhenti di tengah jalan.

Sebagai respons atas meningkatnya kekerasan, Dewan Pers bekerja sama dengan Institute for Media & Society (IMS) membentuk Satuan Tugas Nasional Perlindungan Keselamatan Jurnalis (SATNAS) melalui rapat pleno.

Baca Juga: Jurnalis Perempuan di Kalsel Jadi Korban Femisida, Bagaimana Peran Negara?

Satgas ini dibentuk untuk mempercepat penanganan kekerasan terhadap jurnalis dalam seluruh tahapan kerja jurnalistik, mulai dari pencarian informasi, pengolahan, penyimpanan, penyebaran, hingga pasca-produksi.

"Dengan adanya SATNAS, diharapkan ada percepatan penyelesaian, kepastian hukum, dan pemulihan bagi korban, serta keadilan bagi jurnalis yang menjalankan tugas," tegas Ninik.

Perhatian untuk Pers Kampus dan Media Alternatif

Di akhir masa jabatannya, Ninik juga menyoroti pentingnya memperluas cakupan perlindungan terhadap kelompok media non-mainstream seperti pers kampus dan media alternatif.

Ia menyebut kedua kelompok ini sebagai bagian penting dari ekosistem masa depan pers Indonesia.

"Mereka adalah bagian dari masa depan kehidupan pers kita. Sudah saatnya mereka juga mendapatkan perhatian dan perlindungan yang layak," kata Ninik lagi.

Dengan pembentukan SATNAS dan komitmen untuk memperluas cakupan perlindungan terhadap berbagai entitas media, Dewan Pers berharap ruang aman bagi jurnalis, khususnya perempuan, dapat segera terwujud—baik di dunia nyata maupun digital.

Upaya ini juga diharapkan dapat memulihkan kepercayaan jurnalis terhadap sistem hukum, serta mendorong terciptanya iklim kerja jurnalistik yang bebas dari intimidasi dan kekerasan.

Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Femicide Watch Usai Pembunuhan Jurnalis di Banjarbaru

(*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya