Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Menilik Pasal-Pasal Kontroversial KUHP terhadap Kebebasan Perempuan

Anneila Firza Kadriyanti Kamis, 8 Desember 2022
Kawan Puan wajib tahu pasal-pasal kontroversial KUHP yang berpengaruh pada kebebasan kita sebagai perempuan.
Kawan Puan wajib tahu pasal-pasal kontroversial KUHP yang berpengaruh pada kebebasan kita sebagai perempuan. sorbetto

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Diperlukan waktu selama 59 tahun bagi para legislator untuk membahas dan merancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Akhirnya pada 6 Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat mengetuk palu dan mengesahkan RKUHP atau rancangan KUHP ini.

KUHP yang lama dinilai sebagai produk peninggalan kolonial sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda.

Maka aturan hukum tersebut sudah sangat tidak relevan dengan waktu terkini, terutama ketika aspek kehidupan manusia banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi.

Meski KUHP yang baru disahkan ini merupakan aturan hukum pidana orisinal pertama sejak Indonesia merdeka, pengesahannya menghadapi beragam tentangan dari koalisi masyarakat sipil.

Banyak pasal yang disinyalir dapat melanggar hak demokrasi warga yang paling krusial, yakni berekspresi, berpendapat, memperoleh dan menyebarkan informasi, hingga mengkritik pemerintah.

Pasal-pasal yang memuat ketentuan ini berpotensi multitafsir, sehingga semakin mempersempit ruang kebebasan sipil dalam beropini dan menyuarakan ketidaksetujuan terhadap suatu persoalan sosial-politik-budaya.

Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Transparansi dalam Pembahasan RUU KUHP

Implikasi KUHP terhadap Kebebasan Perempuan

Beberapa pasal yang tertuang dalam KUHP, seperti pada Bab XV tentang Tindak Pidana Kesusilaan dan Bab XXII mengenai Tindak Pidana Terhadap Tubuh (khusus pada Pasal 477), sebenarnya cukup akomodatif dalam memberikan kepastian hukum terhadap perempuan korban kekerasan seksual.

Bahkan aturan-aturan tersebut ikut menyertakan perlindungan terhadap kelompok perempuan rentan seperti anak-anak, lansia, dan disabilitas.

Lebih jauh, KUHP juga menekankan pada consent (persetujuan) kedua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual.

Apabila salah satu pihak merasakan adanya paksaan atau ketimpangan kuasa saat melakukan seks, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perkosaan.

KUHP pun memperluas definisi tindakan perkosaan juga meliputi seks oral dan penetrasi ke dalam anus yang dipaksakan, sehingga tindakan pemaksaan hubungan seks tidak terbatas hanya pada penetrasi penis ke dalam vagina.

Melihat dari pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan kejahatan seksual terhadap perempuan, KUHP dan UU TPKS sebenarnya saling menguatkan.

Namun pasal-pasal lain dalam KUHP berpotensi multitafsir dan bisa sangat merugikan perempuan, terutama terkait kebebasan berekspresi perempuan terhadap tubuh dan sistem reproduksinya.

Pasal-pasal KUHP yang disinyalir dapat berimplikasi buruk terhadap kebebasan perempuan antara lain:

  • Pasal 2 ayat (2) dan 96 yang memperbolehkan penerapan pidana ketika terjadi pelanggaran adat dan tradisi di wilayah tertentu.

Adat dan budaya Indonesia yang sangat kental dengan tradisi patriarki telah menjadi instrumen pengekangan kebebesan perempuan.

Tradisi patriarki ini dilegalkan lewat peraturan daerah (perda) diskriminatif yang kian menguatkan objektifikasi terhadap tubuh perempuan.

Berbagai perda diskriminatif tersebut hadir lewat aturan yang mengintervensi ruang paling privat perempuan seperti kewajiban menggunakan jilbab, aturan kelulusan sekolah yang mengharuskan siswa perempuan bisa memasak.

Jangan lupa juga soal tes keperawanan, dan pemberlakuan jam malam yang diasosiasikan dengan praktik prostitusi.

Pasal-pasal KUHP tentang pemberlakuan hukum adat akan semakin menguatkan bias gender yang berpotensi memunculkan kekerasan terhadap perempuan.

Semisalnya pemberlakuan kewajiban memakai jilbab di beberapa daerah tertentu, yang menerapkan tradisi Syariah, bisa jadi menyulut konflik kekerasan antara perempuan dan aparat, seperti yang saat ini tengah terjadi di negara Iran.

  • Pasal 412, 413, dan 414 yang secara umum membahas tentang display atau mempertunjukkan alat kontrasepsi/pencegah kehamilan.

Ketentuan dalam pasal-pasal ini membatasi bahwa mempertunjukkan alat kontrasepsi hanya boleh dilakukan oleh petugas berwenang (yang bahkan tidak dijelaskan secara detail institusi/profesinya apa).

Dengan demikian, seorang ibu yang memberikan edukasi kepada anak-anaknya tentang alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi berpotensi dihukum pidana.

Pusat-pusat perbelanjaan dan apotek yang mempertunjukkan display kondom pun kemungkinan bisa dijerat pidana oleh pasal ini.

Tentunya yang paling dirugikan dalam hal ini adalah perempuan, sebab pengetahuan mengenai sistem reproduksi dan kesehatan seksual mereka sangat dibatasi.

Lebih lanjut, akses terhadap alat pencegahan kehamilan dan pencegahan penyakit menular seksual juga tidak ada, karena tidak lagi didapat secara bebas.

Baca Juga: Komnas Perempuan Sebut RKUHP Masih Berpotensi Langgengkan Kekerasan Terhadap Perempuan

  • Pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang penyebaran konten lewat perangkat teknologi informasi.

Social media is one of women’s besties.

Keberhasilan gaung gerakan #MeToo secara global adalah salah satu contoh bahwa gerakan sosial-politik-budaya perempuan di era digital tidak lepas dari konsumsi, produksi, dan distribusi informasi yang dimasifkan di ruang virtual.

Internet, utamanya melalui platform media sosial, adalah ruang bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan politiknya, sekaligus sebagai salah satu kanal untuk menggalang dukungan dan mendiskusikan isu-isu perempuan yang sulit dibicarakan secara offline.

Merupakan ancaman terhadap keberlangsungan gerakan-gerakan perempuan jika kebetulan persoalan terkait perempuan yang dibangun secara virtual tersebut bersinggungan dan dianggap merusak nama baik penguasa umum (presiden/wakil presiden, pejabat negara, pejabat daerah, lembaga negara).

Sebagai contoh, penggalangan gerakan lewat media sosial untuk melakukan cancel culture kepada seorang anak pejabat daerah yang melakukan pelecehan seksual di media sosial.

Korban yang melaporkan tindakan si anak pejabat tersebut berpotensi dijerat lewat Pasal 247.

Bila demikian, gerakan-gerakan perempuan akan jadi mati seketika karena korban dan para pendukungnya dibayang-bayangi hukuman penjara.

Padahal tujuan pelaporan tersebut adalah sebagai salah satu cara untuk membagikan pengalaman perempuan, sekaligus merupakan gerakan politis dalam melawan kejahatan seksual.

Jika belum apa-apa sudah diintimidasi dengan pelanggaran hukum pidana, maka akan banyak perempuan yang meninggalkan aktivitas politiknya di media sosial dan memutuskan chill out (berhenti menggunakan media sosial) dalam memperjuangkan aspirasi politik di ruang virtual (Zeiter, et all., Tweets that Chill: Analyzing Online Violence Against Women in Politics, 2019).

Kebutuhan Perempuan yang Tidak Termuat dalam KUHP

Pengesahan KUHP terbaru tidak sepenuhnya menjamin hak-hak perempuan secara politik, sosial, dan budaya.

Beberapa aturan terkait kebebasan perempuan dalam mengakses informasi dan keputusan yang terkait dengan organ reproduksi masih belum diakomodasi dalam KUHP ini.

Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan pemanfaatan teknologi informasi sebagai salah satu medium penyampaian saran dan kritik juga dibayang-bayangi dengan hukuman bui.

Bukan hanya ancaman penjara, beropini di media sosial pun bisa berpotensi mendapat serangan buzzer pendukung rezim pemerintah.

Bahkan perempuan yang berpolitik pun dapat mengalami gendered disinformation, yakni suatu upaya untuk menyudutkan perempuan lewat narasi-narasi seksis dan bias gender.

Pembahasan KUHP yang sudah 59 tahun tidak sepadan dengan produk akhir yang disahkan.

Terbukti masih begitu banyak pasal karet dan justru malah mengancam esensi paling penting dari sebuah negara yang menjalankan demokrasi.

Sosialisasi yang dilakukan sejak 2019 pun tidak memasukkan pertimbangan-pertimbangan dan masukan dari para ahli dan warga negara.

KUHP menjadi produk yang penuh dengan pertentangan dan tidak sepenuhnya menjamin kemerdekaan berdemokrasi rakyat Indonesia.

Padahal seharusnya bisa menjadi kitab hukum orisinal pertama yang patut dirayakan. (*)