Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Aksi Panggung Pamungkas, Fan Service, dan Potensi Pelecehan Seksual

Anneila Firza Kadriyanti Selasa, 11 Oktober 2022
Pengamat komunikasi menanggapi aksi panggung Pamungkas yang jadi viral karena dianggap pelecehan seksual.
Pengamat komunikasi menanggapi aksi panggung Pamungkas yang jadi viral karena dianggap pelecehan seksual. (TribunBanten.com)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Histeria terhadap konten eksplisit seksual di ruang publik tak lepas dari keyakinan bahwa seks dan seksualitas seharusnya berada dalam ruang privat dan tidak dipertunjukkan di depan khalayak.

Namun ketika seklumit aktivitas seksual tersebut ditampilkan di hadapan umum, terutama oleh figur publik, seksualitas tersebut mengundang rasa ingin tahu banyak orang sebab selama ini suatu hal yang begitu tertutup malah dipertontonkan secara cuma-cuma.

Histeria audiens menjadi tak terhindarkan.

Itu sebabnya mengapa konten-konten media yang mengandung seksualitas tidak pernah sepi audiens. Apalagi ditambah dengan keberadaan internet melalui platform media sosial yang saling berjejaring, maka penyebaran dan reproduksi konten-konten seksualitas tersebut kian masif dan luas.

Baca Juga: Video Viral Pamungkas Disebut sebagai Fan Service, Pengamat Sosial Beri Tanggapan

Momentum Membicarakan Potensi Pelecehan Seksual di Konser Musik

Ketika membicarakan aksi panggung Pamungkas, kiranya bisa disepakati bahwa tidak ada upaya pelecehan seksual yang dilakukan oleh sang artis kepada penontonnya.

Namun animo perdebatan ini hendaknya menjadi momentum bagi semua orang untuk membicarakan potensi terjadinya pelecehan hingga kekerasan seksual di konser musik Indonesia sebagai salah satu upaya untuk menciptakan ruang publik yang aman dari predator seksual.

Sampai saat ini belum ada data statistik mengenai jumlah pelecehan dan kekerasan yang terjadi di konser musik di Indonesia.

Cukup sulit untuk melaporkan tindakan pelecehan dan kekerasan seksual di konser musik, mengingat sulitnya memastikan apakah sentuhan terhadap tubuh tertentu merupakan pelecehan seksual, atau disebabkan oleh desakan dan himpitan dari penonton yang saling berkerumun.

Kesulitan lain yang timbul di tengah keramaian adalah mengingat dengan pasti wajah pelaku pelecehan di antara sekian banyak wajah penonton konser.

Tidak hanya terjadi di antara kerumunan penonton, pelecehan juga kerap terjadi area belakang panggung (backstage) antara sesama musisi, atau musisi dengan kru lainnya.

Baca Juga: 3 Titik Menjatuhkan Lawan agar Terhindar dari Pelecehan Seksual

Menurut musisi dan penyanyi Rara Sekar, pelecehan yang terjadi di belakang panggung sering ditunjukkan dalam bentuk verbal dan kerap dipandang sebagai bentuk candaan.

Dengan demikian terbentuk semacam pembiasaan dan pemakluman, sehingga jarang ada laporan pelecehan seksual.

Hendaknya tiap musisi dan sesama penonton tak lupa saling mengingatkan agar kondisi konser tetap kondusif dan saling waspada terhadap potensi terjadinya pelecehan seksual.

Tidak peduli perempuan atau laki-laki, pelecehan seksual di ruang publik seperti konser musik bisa dialami oleh siapapun.

Maka dari itu, penting bagi setiap elemen mulai dari musisi yang tampil, kru dan penyelenggara konser, dan para penonton untuk responsif terhadap pelecehan seksual.

Baskara Putra, vokalis band Feast menginisiasi gerakan SOS lewat handphone penonton apabila mereka mengetahui atau mengalami pelecehan seksual ketika menonton konser musik.

Diharapkan dengan inisiasi gerakan ini setiap orang menjadi waspada, dan tindakan pelecehan seksual di konser musik dapat berkurang. (*)