Mantan Pendiri Startup yang Bisnisnya Gagal Disebut Sulit Dapat Kerja, Benarkah?

Arintha Widya - Kamis, 4 Agustus 2022
Mantan pendiri startup.
Mantan pendiri startup. imtmphoto

Parapuan.co - Kawan Puan, ternyata PHK besar-besaran yang dialami para karyawan perusahaan startup beberapa waktu lalu tidak hanya merugikan karyawan itu sendiri.

Perhatian besar juga muncul terkait nasib para founder startup yang perusahaannya terpaksa tutup karena kekurangan pendanaan atau faktor lain.

Berdasarkan press rilis yang diterima PARAPUAN, ada sebuah riset yang digelar Yale University, Amerika Serikat, yang menunjukan kondisi anomali.

Riset tersebut bertajuk "Are Former Startup Founders Less Hireable?" atau "Apakah Mantan Pendiri Perusahaan Startup Dapat Direkrut?".

Riset itu melaporkan, para mantan pendiri usaha rintisan di sektor teknologi 43 persen lebih kecil berpeluang mendapat panggilan kedua (setelah menjalani wawancara) saat melamar pekerjaan, dibandingkan dengan pelamar kerja yang bukan berlatar belakang pendiri startup.

Survei yang melibatkan 2.400 responden itu juga menyebutkan, para mantan pendiri startup yang usahanya sukses rupanya punya peluang lebih kecil 33 persen untuk diundang wawancara kerja.

Hal ini memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dengan kecenderungan sebagian besar perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berjiwa wirausaha dan inovatif.

Menurut survei itu, ketika dihadapkan dengan kandidat pekerja yang memiliki dua hal tersebut, yang lazimnya dimiliki para pendiri startup, ternyata perusahaan lebih berpeluang memilih kandidat yang bukan berlatar belakang pendiri startup.

Lantas, bagaimana keadaannya di Indonesia? Simak ulasan lebih lengkapnya berikut ini!

Baca Juga: Tips Bagi Perempuan Pendiri Startup dari Alumni Women Founders Academy

Kondisi Para Founder Startup di Indonesia

Meski hasil survei lebih menggambarkan kondisi dunia kerja di Amerika Serikat, pengamat kewirausahaan sosial Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Rudy Handoko, berpendapat situasi serupa berpeluang terjadi di Indonesia.

"Bukan hal aneh seorang founder startup masuk ke bursa kerja setelah bisnisnya gagal, atau pertumbuhan bisnisnya lambat," terang Dr. Rudy Handoko.

Problemnya, kata Rudy, ada semacam stigma pada para founder startup, atau mereka yang pernah berstatus sebagai chief executive officer, chief financial officer, chief marketing officer pada sebuah perusahaan startup.

Stigma tersebut menganggap bahwa mereka punya karakter arogan, merasa serba tahu, dan stigma negatif lainnya.

"Padahal perekrut membutuhkan karyawan yang humble, open minded, dan terbuka untuk belajar hal baru," imbuh Dr. Rudy Handoko.

Pendapat Rudy itu juga tergambar pada hasil riset yang dibuat oleh tim dari Yale University.

Berdasarkan pengamatan para perekrut, mantan pendiri akan memiliki seperangkat keterampilan yang lebih luas, pola pikir berkembang, dan kecenderungan untuk berinovasi.

Tetapi pengalaman sebagai founder perusahaan (terutama mereka yang pernah meraih sukses) mengindikasikan kandidat tersebut kurang cocok dan kurang berkomitmen dalam peran sebagai karyawan.

Oleh sebab itulah perekrut bakal meragukan kecocokan mereka sebagai karyawan, bukan kemampuan atau skills yang dimiliki.

Baca Juga: Kursus Digital Skills yang Gratis di Google, Dibutuhkan di Dunia Kerja

Partners di Living Lab Ventures, Bayu Seto, menilai, sebetulnya para pendiri startup punya sejumlah kelebihan.

"Mantan pendiri startup adalah sosok generalis yang berpengetahuan luas. Mereka kritis dalam mencermati peluang bisnis yang berpotensi untuk diakuisisi, serta peka terhadap red flag yang berpotensi menjadi deal breaker," kata Bayu Seto.

"Hal ini mereka miliki berkat pengalaman di sisi manajemen maupun operasional perusahaan," ucapnya.

"Sehingga pengalaman mereka sebagai founder startup ini memberikan pandangan yang cukup matang dalam melakukan investasi," ungkap Bayu.

Namun, ia juga menemukan, kebanyakan mantan founder startup tahap awal cenderung hyper-focus atas produk atau jasa yang sedang mereka bangun.

Hal ini membuat mereka melupakan gambaran besar dari solusi yang sedang mereka coba hadirkan di market.

"Bahkan membuat mereka reluctant untuk melakukan pivot manakala tren pasar berubah seketika," ujar Bayu Seto lagi.

Menurut Bayu, pilihan merekrut mantan pendiri startup yang "pindah kuadran" menjadi seorang profesional memunculkan sejumlah risiko.

Misalnya risiko kompatibilitas kultur (cultural fit), di mana perusahaan-perusahaan konvensional memiliki kultur hierarki yang rigid.

Baca Juga: Dukung Usaha Berkelanjutan, Ini Cara Ikut Kompetisi Bisnis DSC 2022 Berhadiah 2 Miliar

Oleh karena itu, menciptakan situasi kerja yang terbuka dan fleksibel, serta (sebisa mungkin) membentuk budaya non-hierarki merupakan kunci utama untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh para mantan pendiri.

Terlepas dari hasil survei itu, sejumlah perusahaan masih mengutamakan kompetensi skill calon pekerja, apapun latar belakangnya. Hal ini berlaku di XL Axiata.

"Kami menyeleksi kandidat berdasarkan kecocokan skill competency dan kecocokan budaya kerja. Pengembangannya juga berlaku sama bagi semua karyawan yang sudah bergabung di XL Axiata," ujar Group Head People Services XL Axiata, Mochamad Hira Kurnia.

Hira yang berpengalaman merekrut sejumlah mantan pendiri startup, menyatakan memang ada sejumlah hal yang perlu ditingkatkan dari kelompok tersebut.

"Terutama dalam hal kemampuan menganalisis inovasi versus risiko dan kemampuan managing people, dan kecepatan proses beradaptasi dengan lingkungan enterprise yang fokus terhadap balance sheet," tuturnya.

Di sisi lain, kelompok ini juga memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan perusahaan perekrut.

"Misalnya kemampuan networking mereka serta kemampuan dalam mengelola segmen bisnis dalam skala tertentu," tutup Hira.

Walaupun bisa dibilang peluangnya lebih kecil, tapi bukan berarti mantan pendiri startup bakal sulit mendapatkan pekerjaan ya, Kawan Puan. (*)

Baca Juga: Diterima di Pekerjaan Pertama, Ini 5 Cara Negosiasi Gaji untuk Fresh Graduate

Sumber: Rilis
Penulis:
Editor: Arintya