Cerita Ni Ketut Putri Minangsari Soal Potret dan Stigma Profesi Penari Tradisional di Indonesia

Aulia Firafiroh - Jumat, 29 April 2022
Ni Ketut Putri Minangsari- Profesi Penari Tradisional Bali
Ni Ketut Putri Minangsari- Profesi Penari Tradisional Bali Parapuan

Parapuan.co- Dalam rangka Hari Tari Sedunia yang setiap tahun diadakan pada tanggal 29 April, PARAPUAN ingin mengulik berbagai hal mengenai profesi penari.

Pada Kamis (28/4/2022), tim PARAPUAN berkesempatan untuk mewawancarai seorang penari tradisional Bali profesional bernama Ni Ketut Putri Minangsari.

Murid-muridnya banyak yang menjuluki dirinya "Mbok". Secara istilah bahasa Jawa, panggilan tersebut ditujukan kepada ibu.

Sedangkan secara istilah bahasa Bali, panggilan tersebut ditujukan kepada sosok kakak perempuan.

Selain berprofesi sebagai seorang penari, perempuan yang akrab disapa Putri ini, juga seorang guru tari dan penulis.

Menurut Kompas.id, Putri pernah menghadiri acara Ubud Writers and Readers Festival. Ia tampil di acara tersebut dengan membawakan puisi sambil menari Legong.

Namun ia lebih ingin dikenal sebagai seorang penari, bukan penulis.

"Saat ditanya orang, kamu itu apa, saya selalu bilangnya penari dulu. Saya penari yang hobi menulis mungkin haha. Jadi persona saya lebih ke seniman tari," cerita Putri sambil tertawa saat diwawancara oleh tim PARAPUAN.

Meski ia bangga dengan profesi penari, namun profesi ini tidak lepas dari stigma negatif dan tidak sedikit yang mempertanyakan prospek pekerjaan ini di masa depan.

Baca juga: Hari Tari Sedunia, Ini 5 Pilihan Karier Populer untuk Penari

Seperti yang diketahui, banyak penari tradisional yang akhirnya beralih profesi dan berhenti menari.

Apalagi, banyak penari tradisional yang nasibnya kurang diperhatikan oleh pemerintah.

"Pemerintah mungkin tidak terlalu memprioritaskan tari dan seni budaya. Mau tidak mau, ya kita sendiri sebagai penari yang melestarikan tari tradisi Bali, yang tadinya sempat redup seperti tari Legong," ujar Putri.

Putri juga bercerita kepada PARAPUAN jika saat ini, tidak banyak orang yang menari Legong.

"Tari Legong pada awal tahun 90an, jarang sekali untuk ditarikan lagi. Kemudian, saya dan teman-teman melihat hal itu, dan Tari Legong akhirnya bangkit kembali," tambahnya.

Selain itu, Putri mengaku jika hambatan profesi penari lebih banyak dirasakan oleh penari yang tinggal di daerah daripada di kota.

"Kami sebagai penari tradisional yang tinggal di Jakarta lumayan diuntungkan dibanding penari-penari yang tinggal di daerah-daerah. Karena pergerakan penari di daerah tantangannya lebih sulit," kata alumni jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan tersebut.

Kini banyak penari tradisional yang mengandalkan penari muda untuk terus melestarikan tarian daerah. 

"Para penari yang sudah tua, juga bergantung kepada penari-penari yang lebih muda untuk membawa kembali tarian-tarian tradisional ke permukaan."

Baca juga: Ni Ketut Putri Minangsari, Penari Tradisional Bali yang Tertarik Isu Feminisme

"Banyak maestro-maestro tari yang di masa tua akhirnya tidak terurus dan sakit. Harapan saya, berita-berita seperti itu bisa sampai ke telinga pemerintah." 

"Sebagai guru tari, saya berharap suatu hari nanti, murid-murid yang saya ajarkan bisa terus melestarikan tarian tradisional seperti Legong ke generasi selanjutnya saat saya sudah tidak bisa menari lagi."

"Dulu ada sekitar puluhan penari Legong, sekarang hanya selusin orang yang menari Legong," cerita Putri panjang lebar soal profesi penari saat ini.

Putri mengaku sedih melihat potret profesi penari tradisional yang seiring perkembangan jaman sering dilupakan keberadaannya.

"Saya suka sedih melihat pertunjukan tari tradisional seperti Reog Ponorogo, di cut habis-habisan karena pakai pecut. Itu menyedihkan. Kemudian mereka tidak punya panggung dan akhirnya cuma jadi display sekejap. Hal seperti itu yang sudah tidak dipedulikan oleh orang-orang di kota besar," cerita Putri.

Putri juga miris dengan stigma 'kampungan' yang disematkan pada penari tradisional.

"Apalagi sekarang orang lebih suka mempelajari tari internasional seperti latin, karena lebih banyak ditampilkan di tempat-tempat prestisius seperti kafe, hotel, dan tempat-tempat dingin lainnya. Berbeda dengan tari tradisional yang masih kerap dianggap kampungan," lanjutnya.

Tak hanya itu, sebagai seorang perempuan yang berprofesi sebagai seorang penari, Putri kerap mendapatkan stigma. 

"Stigma profesi penari lebih dirasakan oleh anak-anak saya karena memiliki ibu penari yang selalu dianggap lifestylenya serba bebas dan hura-hura. Dan dianggapnya, seniman itu kelewat santai. Membiarkan anak-anaknya itu liar, karena ibunya dianggap juga liar," ujar ibu dua anak ini.

Namun stigma negatif yang disematkan kepada dirinya, tidak menyurutkan semangat Putri untuk menjadi seorang penari tradisional.

"Hal itu memicu saya untuk membuat imaji diri yang lebih anggun. Hal itu juga saya pelajari dari guru saya yang juga seorang penari yang juga berprofesi sebagai dokter," jelas Putri. (*)

Sumber: kompas.id
Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh