Sejarah Hari Film Nasional 30 Maret, Berawal dari Film Darah dan Doa

Alessandra Langit - Rabu, 30 Maret 2022
Film Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950), awal sejarah Hari Film Nasional
Film Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950), awal sejarah Hari Film Nasional TribunWiki

Parapuan.co - Kawan Puan, tanggal 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional.

Hari yang penting ini dirayakan sebagai bentuk apresiasi kepada insan perfilman Tanah Air yang sudah menghadirkan hiburan berkualitas untuk masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, perfilman Indonesia sedang bangkit dan merajai festival film internasional.

Film-film seperti Yuni dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas menjadi contoh karya anak bangsa yang berhasil mendapatkan apresiasi dari masyarakat global.

Kehadiran platform streaming seperti Netflix pun ikut mendukung pertumbuhan industri film Indonesia.

Hal itu dibuktikan dengan prestasi film Penyalin Cahaya yang menduduki peringkat kedua tayangan populer Netflix secara global.

Untuk merayakan Hari Film Nasional, ada baiknya bila kita menyimak sejarahnya yang penting namun jarang diketahui.

Sejarah Hari Film Nasional

Hari Film Nasional ditetapkan bersamaan dengan hari pertama produksi film Darah dan Doa (Long March of Siliwangi).

Baca Juga: 5 Film Indonesia Pertama dalam Sejarah, Ada Cerita Rakyat Lutung Kasarung

Film bersejarah tersebut merupakan karya Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail pada tahun 1950.

Darah dan Doa adalah film yang penting karena menjadi film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh Indonesia sebagai sebuah negara.

Sebelumnya, film dan karya audio visual lainnya diproduksi dengan campur tangan Belanda, Jepang, maupun China.

Semangat dari Usmar Ismail menjadi tonggak bangkitnya industri film Indonesia yang melibatkan kru dan pemain anak bangsa sendiri.

Melansir jurnal Mewacanakan Film Nasional yang ditulis oleh kritikus film Indonesia, Adrian Jonathan (2017), sosok Usmar Ismail sendiri adalah tokoh bersejarah bagi film Indonesia.

Usmar Ismail adalah orang Indonesia yang pertama kali berani untuk membuat film secara independen di masa pasca kemerdekaan Indonesia.

Pria kelahiran Bukittinggi tersebut mengatakan bahwa pembuatan Darah dan Doa tanpa perhitungan komersial.

Didorong oleh idealismenya, Usmar Ismail ingin mengukuhkan reputasi perfilman yang saat itu mementingkan nilai komersial dibandingkan kualitas.

Baca Juga: Mendirikan Ajang FFI, Ini Jasa Usmar Ismail bagi Perfilman Nasional

Pada 11 Oktober 1962, konferensi Dewan Film Nasional dengan Organisasi Perfilman menetapkan 30 Maret menjadi Hari Film Nasional.

Selain itu, Usmar Ismail (pendiri Perfini) dan Djamaludin Malik (pendiri Persari) diangkat sebagai Bapak Pefilman Indonesia.

Perfilman Indonesia sempat padam di tahun 90-an dengan adanya krisis moneter dan keadaan politik yang cukup panas.

Banyak seniman yang dibungkam dan bersembunyi dalam satu tema cerita bersama untuk menghindari fungsi film sebagai alat propaganda.

Saat reformasi tiba, identitas bangsa lewat karya film kembali dirayakan dalam pidato Presiden BJ Habibie di Istana Negara pada 30 Maret 1999.

Kembali mengangkat semangat Usmar Ismail, Presiden BJ Habibie ingin pembuat film Indonesia kembali bangkit dengan karya-laruanya.

"Mencerminkan kepribadian bangsa dan tidak digantungkan pada komersialitas," merupakan pemikiran Usmar Ismail yang kembali digaungkan oleh BJ Habibie. 

Hingga hari ini, 30 Maret menjadi hari yang penting bagi insan perfilman Indonesia dan merupakan semangat bersama untuk menghadirkan karya berkualitas.

Industri film Indonesia pun semakin inklusi dengan banyaknya perempuan yang mendominasi kursi penyutradaraan.

Ruang aman bagi Kawan Puan yang bermimpi untuk berkarier di industri film pun semakin luas dan mudah untuk diraih.

Baca Juga: Melihat Pentingnya Kesetaraan Gender dan Inklusi dalam Industri Film

(*)

Sumber: Bpip.go.id
Penulis:
Editor: Linda Fitria