Hasil Pilpres Buat Perempuan Korea Selatan Resah, Bukti Lingkungan Masih Misogini

Alessandra Langit - Jumat, 11 Maret 2022
Yoon Suk Yeol, kandidat presiden dari oposisi utama People Power Party, yang terpilih sebagai presiden baru Korea Selatan pada hari Kamis, memegang karangan bunga saat dia diberi ucapan selamat oleh anggota partai dan anggota parlemen di Majelis Nasional di Seoul, Korea Selatan, Kamis, 10 Maret , 2022.
Yoon Suk Yeol, kandidat presiden dari oposisi utama People Power Party, yang terpilih sebagai presiden baru Korea Selatan pada hari Kamis, memegang karangan bunga saat dia diberi ucapan selamat oleh anggota partai dan anggota parlemen di Majelis Nasional di Seoul, Korea Selatan, Kamis, 10 Maret , 2022. AP PHOTO/LEE JIN MAN

Kelompok laki-laki tersebut pun membentuk kampanye New Men’s Solidarity, sebuah gerakan organisasi antifeminis.

Perempuan di Korea Selatan pun menyoroti komentar Yoon Suk Yeol pada pra-pemilu terakhir minggu lalu yang hanyalah janji manis semata.

Yoon Suk Yeol mendefinisikan feminisme sebagai menghormati perempuan dan memberi mereka perlakuan yang sama, namun rekam jejaknya sangat berbeda dari ucapannya.

Terlepas dari kemajuan ekonomi dan teknologinya, Korea Selatan masih menganut sistem patriarki.

Hal ini juga terlihat dari kesenjangan upah berdasarkan gender tertinggi di daftar negara maju OECD.

Selain itu, hanya 3,6 persen anggota dewan di negara gingseng tersebut yang adalah perempuan.

Dengan data tersebut, tak heran jika kemenangan Yoon Suk Yeol semakin membuat perempuan Korea Selatan khawatir.

Berbagai gerakan feminis telah dilakukan sejak pra-pemilu untuk mengumpulkan solidaritas yang sayangnya belum dapat terwujud.

Walaupun jumlahnya sedikit, laki-laki muda yang menyatakan anti misogini pun ikut turun ke jalan untuk mendukung para perempuan.

Perempuan Korea Selatan kini mendapatkan dukungan dan simpati dari banyak lembaga hak perempuan di seluruh dunia.

Baca Juga: Awasi Budaya Fangirl, Pemerintah China Hapus Berbagai Akun Selebriti dari Internet

(*)

Sumber: South China Morning Post,BBC
Penulis:
Editor: Linda Fitria