Hari Perempuan Internasional, Ini Rintangan yang Dihadapi Perempuan Bekerja di Indonesia

Aulia Firafiroh - Senin, 7 Maret 2022
Kondisi Perempuan Bekerja di Indonesia
Kondisi Perempuan Bekerja di Indonesia Yoke Fong Moey

Parapuan.co- Tak terasa, sebentar lagi akan tiba Hari Perempuan Internasional pada Rabu (8/3/2022).

Untuk menyambutnya, PARAPUAN ingin membahas mengenai segala hal tentang perempuan Indonesia termasuk rintangan yang kerap dihadapi perempuan bekerja.

Lalu seperti apa rintangan para perempuan yang bekerja di Indonesia?

Dilansir dari Kompas.id, pendapatan pekerja perempuan di Indonesia pada 2020 hanya 24,8 persen dari total pendapatan tenaga kerja nasional.

Angka tersebut diketahui tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir.

Hal ini tentu menunjukkan jika masalah ketidaksetaraan gender di Indonesia masih terjadi.

Bahkan menurut Laporan Ketimpangan Dunia atau World Inequality Report (WIR) 2022 yang disusun oleh Lab Ketimpangan Dunia bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menunjukkan bahwa pada tahun 1990, pendapatan tenaga kerja perempuan hanya 21 persen dari angka nasional.

Angka tersebut naik di pada tahun 2000 (23,5 persen), 2010 (23,7 persen), dan 2020 (24,8 persen), namun tidak signifikan.

”Dari tahun 1990-2020 atau selama 30 tahun, pendapatan berbasis jender di Indonesia tidak banyak berubah, masih timpang. Angka ketimpangan 24,8 persen ini sedikit lebih tinggi dari negara-negara di Asia, tidak termasuk China, yang angkanya 21 persen,” kata Senior Program Officer SDGs International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Bona Tua pada Jumat (4/3/2022) mengutip dari Kompas.id.

Baca juga: 9 Fakta Pandangan Perempuan Asia Soal Kesetaraan Gender di Tempat Kerja

Tak hanya itu, Nani Zulminarni dari Perkumpulan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), juga menyampaikan sejumlah rintangan yang harus dihadapi perempuan yang bekerja.

Menurutnya, perempuan memiliki jam kerja yang lebih panjang dari laki-laki.

Apalagi perempuan kerap dituntut mengerjakan pekerjaan domestik tidak berbayar seperti memasak, membersihkan rumah, hingga mengurus anak dan suami.

Tentu saja hal tersebut dapat mengurangi kualitas hidup perempuan.

”Ini membuat posisi perempuan di keluarga menjadi rentan. Padahal, beban kerja mereka banyak. Perempuan bekerja tiga kali lebih lama dari laki-laki di keluarga,” ujar Nani.

Selain itu, tidak semua perempuan memiliki kesempatan dan akses pendidikan untuk meningkatkan kualitas diri.

Berdasarkan data soal rata-rata lama sekolah perempuan, banyak perempuan yang hanya bersekolah sampai kelas 1 SMP saja.

Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ratna Susianawati juga mengatakan jika tempat kerja menjadi salah satu lokasi rentan terjadinya kekerasan.

Hal itu terlihat dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada 2021.

Baca juga: Hari Internasional Perempuan dan Anak Perempuan dalam Sains: Sebuah Upaya untuk Kesetaraan Gender

"Tempat kerja menjadi salah satu lokasi rentan terjadinya kekerasan, yaitu 156 pelaporan," kata Ratna, dilansir dari rilis persnya yang tayang di Kompas.com pada Senin (29/11/2021).

"Tak hanya itu, sebanyak 79 korban mengalami kekerasan oleh rekan kerjanya dan 29 korban oleh atasannya," tambahnya.

Data Simfoni PPPA mencatat, sepanjang Januari-Oktober 2021 telah terjadi 7.818 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 7.917 korban.

Menurut Ratna, kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja merupakan fenomena gunung es yang dapat terjadi kepada siapa pun dan dimana pun.

"Perlu dilakukan penyelesaian secara komprehensif dari hulu ke hilir untuk melindungi pekerja perempuan dari kekerasan, baik itu fisik, psikis, seksual, dan lain sebagainya," ujar Ratna.

Fakta tersebut juga didukung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga.

Ia mengatakan jika masalah ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan khususnya di tempat kerja masih terjadi hingga saat ini.

Adanya hal ini, kata dia, berdampak pada kesenjangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam beberapa hal. Di antaranya kesenjangan terhadap akses, partisipasi, kontrol, dan penerima manfaat pembangunan. 

"Hal ini sangat mungkin terjadi karena masih ada para pemangku kepentingan serta pengambil keputusan baik dari unsur eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga masyarakat dan dunia usaha yang masih menyamaratakan keberadaan masyarakat sebagai kelompok sasaran," kata Bintang di acara Penyerahan Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tahun 2020 secara daring dikutip dari Kompas.com pada Rabu (13/10/2021).

Ia juga menambahkan, sikap menyamaratakan yang disebut sebagai netral gender itu berpotensi mengakibatkan kealpaan dalam mengidentifikasi kebutuhan yang beragam.

Termasuk kenyataan adanya kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari setiap kelompok masyarakat.

Selain itu, pembangunan yang dilakukan di Indonesia juga belum dirasakan setara oleh para perempuan.

Padahal, pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

"Namun seringkali yang terjadi adalah pembangunan tersebut belum dirasakan secara setara oleh kaum perempuan," tambah Bintang.

Bintang mengatakan, penyebab adanya ketidaksetaraan di antaranya karena kebijakan, program dan kegiatan pembangunan belum sepenuhnya memperhatikan perbedaan kebutuhan, pengalaman, dan kondisi lainnya di masyarakat.

Baik itu yang bersifat kodrati maupun hasil konstruksi sosial yang terjadi. (*)

Sumber: Kompas.com,kompas.id
Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh