Moorissa Tjokro, Insinyur Perempuan Cruise yang Pernah Kerja di NASA hingga Tesla

Aghnia Hilya Nizarisda - Rabu, 2 Maret 2022
Insinyur perempuan indonesia yang berkarier go international, Moorissa Tjokro.
Insinyur perempuan indonesia yang berkarier go international, Moorissa Tjokro.

Parapuan.co - Apakah Kawan Puan ingat salah satu adegan di drama Korea (drakor) Start-Up saat Bae Suzy dan Nam Joo Hyuk mencoba mobil autopilot?

Mobil tersebut tidak perlu dikendalikan oleh manusia karena ada fitur swakemudi dan sudah diatur sedemikian rupa agar bisa mendeteksi apa yang ada di depannya.

Tidak hanya ada di drakor Start-Up, ternyata hal tersebut adalah sesuatu yang dihadapi dan digeluti salah satu insinyur perempuan asal Indonesia.

Sosok tersebut ialah Moorissa Tjokro yang kini bekerja sebagai Robotics Senior Software Systems Engineer untuk Cruise, perusahaan mobil tanpa pengemudi di California.

Berdasarkan LinkedIn perempuan berusia 28 tahun ini, dirinya baru pindah ke perusahaan tersebut selama 6 bulan, sejak Oktober 2021 lalu.

Lantas, bekerja di negara orang, sebelumnya apa yang sudah dikerjakan oleh seorang Moorissa Tjokro? Nyatanya, ada sederet pencapaian perempuan yang memilih go international ini.

PBB, NASA, hingga Tesla

Sebelum pindah, Moorissa Tjokro adalah satu dari hanya 6 orang Autopilot Software Engineer perempuan yang bekerja untuk perusahaan Tesla, di California.

Melansir Kompas.com, Moorissa berkisah bagaimana dirinya dipercaya menggarap fitur swakemudi atau full-self-driving versi beta sebagai insinyur perangkat lunak autopilot.

Baca Juga: Siska Nirmala, Penulis yang Mendaki Gunung dengan Kampanye Zero Waste

Perempuan yang gemar menulis ini berkisah, apa yang dikerjakannya saat di Tesla mencakup computer vision, misal bagaimana mobil itu melihat dan mendeteksi lingkungan sekitar.

"Apa ada mobil di depan kita? Tempat sampah di kanan kita? Gimana bisa bergerak atau namanya control and behavior planning, untuk ke kanan, ke kiri, manuver dengan cara tertentu," ujarnya.

Pasalnya, fitur full-self-driving adalah salah satu proyek terbesar Tesla yang merupakan tingkat tertinggi dari sistem autopilot, di mana pengemudi tak perlu menginjak rem dan gas.

Perempuan yang sudah tinggal di Amerika sejak 2011 ini mengaku, proses penggarapan fitur tersebut sulit dan memakan jam kerja yang sangat panjang.

Bertugas mengevaluasi perangkat lunak autopilot dan pengujian serta meningkatkan kinerja mobil, perempuan yang juga hobi melukis ini bisa bekerja 60 sampai 70 jam seminggu.

Sebelum dipercaya untuk masuk proyek besar tersebut pada 2020, Moorissa yang bekerja untuk Tesla sejak 2018 bekerja sebagai data scientist dan menangani perangkat lunak mobil.

Menariknya, sebelum tiga tahun lebih bekerja di perusahaan mobil listrik, Moorissa Tjokro berdedikasi selama 6 tahun di NASA Goddard Space Flight Center.

Moorissa bekerja sebagai machine learning researcher pada penelitian tentang perubahan iklim di Samudra Atlantik Utara dan Selatan 100+ tahun dari data dan simulasi yang diamati.

Rupanya, pencapaian perempuan yang juga pernah bekerja di PBB ini tidak lepas dari dukungan keluarga, terutama sang ayah yang menginspirasinya. 

Baca Juga: Dirikan Media Sendiri, Najwa Shihab Ungkap Itu Momen Menakutkan Untuknya

Pendidikan dan Keluarga

Berdasarkan laman pribadinya, Moorissa menulis bahwa dirinya senang mengeksplorasi masalah menarik dalam bidang artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan sustainability.

Rupanya, alasan kecintaan Moorissa menekuni dunia STEM (Sains, Teknologi, Teknik/Engineering, Matematika) adalah karena melihat sang ayah.

"Dia seorang insinyur elektrik dan entrepreneur, dan aku bisa ngeliat kalau teknik-teknik insinyur, itu benar-benar fun, penuh tantangan, dan itu aku suka," kisahnya.

Selaras dengan itu, bukan tanpa alasan Moorissa di titik saat ini karena latar belakang perempuan lulusan SMA Pelita Harapan ini pun tak main-main.

Pada 2011, Moorissa yang saat itu baru berusia 16 tahun mendapat beasiswa Wilson and Shannon Technology untuk kuliah di Seattle Central College.

Sayangnya, saat itu dirinya tidak bisa langsung kuliah di institusi besar atau universitas di Amerika, yang memiliki persyaratan umur minimal 18 tahun.

Lantas pada 2012, Moorissa mengambil gelar sarjananya di Jurusan Teknik Industri dan Statistik, di Georgia Institute of Technology, Atlanta.

Baca Juga: Kisah Astriani Dwi Aryaningtyas, Lawan Kanker 7 Tahun hingga Dirikan Pita Tosca

Moorissa tak cuma aktif di kampus tapi juga berprestasi dengan meraih President’s Undergraduate Research Award dan nominasi Helen Grenga untuk insinyur perempuan terbaik di Georgia Tech.

Tidak hanya itu, Moorissa pun menjadi salah satu lulusan termuda di kampus, di umurnya yang baru 19 tahun, dengan predikat Summa Cum Laude.

Lantas, setelah lulus S1 dan bekerja selama 2 tahun, Moorissa melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Data Science di Columbia University, New York.

Moorissa kembali menoreh prestasi dalam beberapa kompetisi, antara lain juara 1 di ajang Columbia Annual Data Science Hackathon dan juara 1 di ajang Columbia Impact Hackathon.

Nah, itulah perjalanan karier sosok Moorissa Tjokro yang menjadi salah satu insinyur perempuan Tanah Air di kancah dunia. (*)

Sumber: Kompas.com,LinkedIn
Penulis:
Editor: Aghnia Hilya Nizarisda