Kekerasan pada Perempuan yang Terjadi di Masa Anak-anak Berpengaruh pada Otak

Putri Mayla - Selasa, 16 November 2021
Kekerasan pada perempuan dan anak yang terjadi di masa anak-anak dapat memengaruhi perkembangan otak.
Kekerasan pada perempuan dan anak yang terjadi di masa anak-anak dapat memengaruhi perkembangan otak.

Parapuan.co - Kekerasan pada perempuan dan anak yang terjadi di masa anak-anak dapat berpengaruh pada otak.

Kekerasan yang terjadi di masa anak-anak dapat mengakibatkan perubahan permanen pada otak manusia yang sedang berkembang.

Perubahan struktur otak ini tampaknya cukup signifikan untuk berpotensi menimbulkan masalah psikologis dan emosional di masa dewasa, seperti dilansir dari laman Verywellmind.

Masalah yang dapat ditimbulkan berupa gangguan psikologis dan parahnya penyalahgunaan zat.

Masih melansir Verywellmind, sekitar 14% orang Amerika melaporkan mengalami pelecehan atau penelantaran emosional selama masa kanak-kanak mereka.

Baca Juga: Akibat Kekerasan pada Perempuan, Ini Gejala dan Dampak Trauma Bonding

Kekerasan pada perempuan dan anak berbentuk emosional dapat mencakup:

- Menghina, menyebut nama, atau memaki anak.

- Mengancam untuk menyakiti anak secara fisik.

- Meneror atau membuat anak merasa takut.

- Pengabaian emosional melibatkan kegagalan untuk memenuhi kebutuhan emosional anak.

Kekerasan secara emosional dapat terjadi akibat beberapa faktor.

Kekerasan pada perempuan berbentuk emosional dapat mencakup kegagalan untuk:

- Percaya pada anak

- Menciptakan keluarga yang kompak

- Buat anak merasa istimewa atau penting

- Menyediakan dukungan

- Ingin anak sukses.

Lantas, bagaiaman kekerasan mengubah struktur otak?

Saat anak-anak tumbuh, otak mereka mengalami periode perkembangan yang cepat.

Pengalaman negatif dan traumatis dapat mengganggu periode perkembangan tersebut.

Hal ini menyebabkan perubahan di otak di kemudian hari.

Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan Bisa Sebabkan Trauma Bonding, Apa itu?

Dr. Martin Teicher dan rekan-rekannya di McLean Hospital, Harvard Medical School, dan Northeastern University mempelajari hubungan antara pelecehan dan struktur otak.

Mereka menggunakan teknologi magnetic resonance imaging (MRI) untuk mengidentifikasi perubahan terukur dalam struktur otak di antara orang dewasa muda yang pernah mengalami pelecehan masa kanak-kanak. 

Kemudian, mereka menemukan perbedaan yang jelas di sembilan wilayah otak antara mereka yang pernah mengalami trauma masa kanak-kanak dan mereka yang tidak.

Perubahan yang paling jelas adalah di daerah otak yang membantu menyeimbangkan emosi dan impuls, serta pemikiran sadar diri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang pernah mengalami kekerasan emosional atau penelantaran masa kanak-kanak memang memiliki peningkatan risiko masalah kesehatan mental di kemudian hari.

Pelecehan, penelantaran, dan trauma masa kanak-kanak mengubah struktur otak dan fungsi kimia.

Lebih lanjut lagi, penganiayaan juga dapat memengaruhi cara anak-anak berperilaku, mengatur emosi, dan berfungsi secara sosial.

Efeknya, anak-anak dapat selalu waspada dan tidak dapat bersantai, apa pun situasinya.

Kemudian merasa takut sebagian besar atau sepanjang waktu, penurunan kualitas belajar, hingga kondisi kesehatan mental lainnya.

Efek ini dapat terus menyebabkan masalah di masa dewasa jika tidak ditangani.

Baca Juga: Efek Kekerasan pada Perempuan Bagi Kesehatan Mental Penyintas

Orang dewasa yang mengalami penganiayaan selama masa kanak-kanak mungkin mengalami masalah dengan hubungan antarpribadi atau cenderung menghindar.

Hasil ini dapat dikaitkan dengan teori keterikatan atau pengasuhan yang dapat memengaruhi cara kita berhubungan dengan orang lain.

Orang dewasa yang mengalami pelecehan emosional masa anak-anak mungkin juga mengalami disregulasi emosi, perasaan putus asa, dan harga diri rendah.

Selanjutnya, mereka juga dapat mengalami pikiran otomatis negatif, dan masalah mengatasi stres.

Untuk menangani masalah efek kekerasan pada perempuan dan anak secara emosional dapat dilakukan terapi yang disarankan oleh tenaga profesional.

(*)

Sumber: verywellmind
Penulis:
Editor: Maharani Kusuma Daruwati