Kisah Maria Walanda Maramis, Pahlawan Pejuang Hak Pilih bagi Perempuan

Arintha Widya - Jumat, 5 November 2021
Maria Walanda Maramis
Maria Walanda Maramis

Parapuan.co - Salah satu pahlawan perempuan Indonesia yang tak boleh dilupakan jasanya ialah Maria Walanda Maramis.

Maria Walanda Maramis merupakan sosok yang juga ikut serta dalam memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki.

Di awal abad ke-20, ia aktif menyuarakan emansipasi, terlebih dalam memajukan hak-hak perempuan.

Siapa sebenarnya perempuan keren ini dan bagaimana kisahnya dalam memperjuangkan hak sesama?

Berikut kisah perjuangan Maria Walanda Maramis sebagaimana dilansir dari Kompas!

Baca Juga: Perjalanan Pahlawan Emansipasi RA Kartini Perjuangkan Pendidikan bagi Perempuan

Kehidupan pribadi

Maria Walanda Maramis lahir dengan nama asli Maria Josephine Catherine Maramis, pada 1 Desember 1872 di Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Maria ialah putri bungsu dari tuga bersaudara, anak dari pasangan Maramis dan Sarah Rotinsulu.

Saat umur enam tahun, kedua orang tua Maria meninggal dunia dan ia diasuh oleh pamannya.

Maria hanya bisa bersekolah di tingkat dasar selama tiga tahun. Kala itu di Minahasa, anak perempuan tidak boleh bersekolah tinggi-tinggi.

Mereka dipaksa untuk tinggal di rumah saja sembari menunggu untuk dipersunting laki-laki.

Maria memang bisa dibilang mengikuti aturan yang berlaku tersebut, tapi ia banyak bergaul dengan golongan orang terpelajar.

Salah satunya adalah pendeta Belanda di Maumbi bernama Ten Hove, yang kemudian menginspirasinya untuk memajukan perempuan di Minahasa.

Memasuki usia ke-18 tahun, Maria Walanda menikah dengan seorang guru bahasa di sekolah Belanda yang ada di Manado.

Bersama sang suami, yaitu Jozef Frederik Calusung Walanda, Maria mengetahui situasi memprihatinkan di kawasan tempat tinggalnya di Airmadidi dan Maumbi.

Ia melihat bahwa perempuan di lingkungannya tidak punya pengetahuan mumpuni tentang kesehatan, rumah tangga, dan pengasuhan anak.

Alhasil, Maria pun mengajarkan mereka untuk menyulam, memasak, sampai membuat kue dari rumah ke rumah.

Baca Juga: Kisah Dewi Sartika, Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat

Kiprah Maria Walanda Maramis

Tahun 1917, Maria mendirikan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya atau PIKAT.

Ia bahkan mendapatkan izin membuka sekolah rumah tangga dengan menggunakan kediaman seorang pedagang Belanda.

Sekolah yang didirikannya menampung perempuan-perempuan pribumi tamatan sekolah rendah dari berbagai kalangan.

Dalam beberapa tahun, PIKAT bahkan berhasil membuka cabang di luar Sulawesi, yaitu Kalimantan dan Jawa.

Kiprah Maria di dunia pendidikan ternyata memikat pemerintah Belanda.

Pada tahun 1920, Gubernur Jenderal Belanda mengunjungi sekolah PIKAT dan memberikan sumbangan berupa uang.

 

Tak hanya lewat PIKAT, Maria Walanda Maramis juga memperjuangkan hal lain untuk para perempuan. 

Dahulu, perempuan tidak bisa memberikan suara dalam pemilihan perwakilan daerah, melainkan hanya laki-laki yang diperbolehkan.

Namun, Maria mampu memperjuangkan agar perempuan juga diberi kesempatan memberikan suara atau hak pilih dalam memilih perwakilan.

Perjuangannya didengar oleh Belanda, hingga pada 1921, pihak kolonial mengizinkan partisipasi perempuan dalam pemilihan perwakilan Dewan Rakyat di Minahasa.

Baca Juga: Kisah Cut Nyak Dhien, Perempuan Bangsawan yang Turun ke Medan Perang

Akhir hayat

Kondisi kesehatan Maria Walanda Maramis terus menurun seiring bertambahnya usia. Ia pun meninggal dunia pada 22 April 1924.

Untuk mengenang jasanya, pemerintah Indonesia menerbitkan Surat Kepres No. 012/TK/1969 dan menganugerahi Maria gelar Pahlawan Nasional.

Bahkan, pemerintah daerah Minahasa juga membangun Monumen Maria Walanda Maramis di Desa Maumbi untuk mengenang jasa sang pahlawan.

Bukan itu saja, setiap tanggal 1 Desember (bertepatan hari kelahiran Maria), rakyat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis. (*)

Sumber: Kompas
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri