Mengenal Ekonomi Sirkular Lewat Hadirnya Toko Kelontong Nol Sampah

Arintha Widya - Kamis, 28 Oktober 2021
Toko Nol Sampah
Toko Nol Sampah Instagram @tokonolsampah

Parapuan.co - Kawan Puan mungkin masih belum familier dengan istilah ekonomi sirkular.

Secara teori, ekonomi sirkular adalah di mana pelaku ekonomi menjaga agar sumber daya dapat dipakai selama mungkin.

Konsep ekonomi sirkular juga merujuk pada menggali nilai maksimum penggunanaan sumber daya.

Dalam hal ini termasuk memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan pada setiap akhir umur layanan.

Baca Juga: KemenPPPA Tekankan Pentingnya Peran Perempuan dalam Ekonomi Digital

Uraian di atas bisa jadi sulit kamu pahami. Untuk itu, agar lebih mudah sebaiknya kamu simak penjelasan terkait praktik ekonomi sirkular di masyarakat.

Seorang pelaku UMKM bernama Siska Nirmala atau yang akrab disapa Pieta telah kurang lebih setahun belakangan mempraktikkan ekonomi sirkular ini.

Pada September 2020 lalu, Pieta membuka toko kelontong yang diberi nama Nol Sampah.

Tak hanya namanya, toko ini juga menerapkan zero waste, salah satunya dengan tidak menggunakan kemasan atau kantong plastik di setiap penjualan.

Toko kelontong Nol Sampah menjual produk-produk rumah tangga, sebagian besar adalah bumbu dapur yang dapat dijual tanpa kemasan plastik.

"Tokoku jual kebutuhan sehair-hari tanpa kemasan. Jadi, konsumen yang beli bawa wadah sendiri," ungkap Pieta saat dihubungi PARAPUAN baru-baru ini.

Selain itu, penjualannya bukan eceran, melainkan kiloan sehingga para pembeli diperkenankan membawa wadah sendiri.

Kalaupun tidak, toko Nol Sampah yang dikelola Pieta memberikan toples cuma-cuma untuk dibawa konsumen.

Melalui toko kelontong Nol Sampah, perempuan kelahiran Bandung 1987 ini mengaku tidak fokus pada profit atau keuntungan semata.

Baca Juga: Kartu Prakerja Diklaim Efektif Pulihkan Ekonomi Nasional, Alasannya?

Ia hanya ingin mengedukasi masyarakat di sekitarnya untuk mencintai lingkungan dengan meminimalkan penggunaan plastik.

Tak hanya pembeli, ia juga mengedukasi pemasok barang dengan meminta mereka untuk mengirimkan barang yang kemasannya bisa digunakan kembali.

"Selain mengedukasi pembeli, aku juga mengedukasi supplier bahwa bisa kok ngasih barang tanpa kemasan dan konsumennya ada," tambah Pieta.

"Aku mencoba meyakinkan produsen bahwa konsumen-konsumen sekarang juga udah aware sama masalah sampah," tuturnya lagi.

Pieta menyadari pula bahwa membangun sistem ekonomi sirkular tidak bisa dilakukan secara instan.

Maka sebagai pelaku usaha, yang bisa dilakukannya ialah memulai mengedukasi dari masyarakat bawah atau lingkungan sekitarnya sendiri.

Menurutnya, sistem ekonomi sirkular seperti yang dijalankan akan lebih berdampak apabila dilakukan perusahaan besar.

 

Walau sejumlah perusahaan di industri kecantikan sudah menerapkan zero waste dengan menerima kembali kemasan kosmetik dari konsumen untuk dipakai lagi, tetapi dampaknya belum cukup luas.

Akan lebih efektif lagi apalagi ada regulasi dari pemerintah untuk mendukung ekonomi sirkular.

"Yang bisa kita lakukan sebagai orang kecil ya salah satunya menciptakan supporting system kayak gini," terang Pieta.

"Kalau dari pemerintah, support mereka seharusnya ya dari regulasi kalau memang sistem ekonomi sirkular ini mau dibikin," imbuhnya.

Baca Juga: Wah! Program Ini Bantu Fasilitasi Ekonomi Perempuan Kepala Keluarga

Kesimpulannya, ekonomi sirkular adalah di mana perekonomian berjalan tanpa ada banyak sumber daya terbuang.

Salah satu contohnya, seperti terungkap di atas, yaitu dengan meminimalkan penggunaan kemasan plastik.

Caranya bisa dengan memakai wadah dari kaca atau kain yang dapat digunakan berulang dan awet. Kawan Puan sudah paham, bukan? (*)

Sumber: Wawancara
Penulis:
Editor: Arintya