Film I, Tonya: Saat Bakat dan Ambisi Tak Cukup untuk Bawa Atlet Tonya Harding ke Olimpiade

Alessandra Langit - Jumat, 30 Juli 2021
Margot Robbie sebagai Tonya Harding dalam film I, Tonya.
Margot Robbie sebagai Tonya Harding dalam film I, Tonya. IMDb

Parapuan.co - Mundurnya pesenam perempuan Simone Biles dari Olimpiade Tokyo tahun ini karena alasan kesehatan mental, membuka banyak diskusi di media sosial.

Banyak warganet yang tidak setuju dan merasa keputusan Simone bukanlah hal yang benar, dan banyak juga warganet yang mendukung Simone sepenuhnya.

Kalimat "atlet juga manusia" membanjiri media sosial ketika pengumuman mundurnya Simone Biles pertama kali disampaikan ke publik.

Tekanan dan ekspektasi dari orang lain serta faktor kesehatan mental yang tidak baik dapat menjadi alasan performa atlet tidak maksimal di kompetisi.

Kondisi kesehatan mental seperti Simone Biles pun pernah dirasakan oleh atlet lainnya.

Baca Juga: Utamakan Kesehatan Mental, Simone Biles Mundur dari Pertandingan Final Gimnastik Olimpiade Tokyo 2020

Pada tahun 90-an, seorang atlet figure skating atau seluncur indah bernama Tonya Harding menjadi sorotan karena berbagai tekanan yang diberikan kepadanya.

Perjalanan karir dan kondisi mental Tonya Harding diceritakan dalam film I, Tonya (2017)

Film I, Tonya mengangkat kisah nyata Tonya Harding (diperankan Margot Robbie), yang mencapai puncak ketenarannya karena menjadi perempuan pertama yang berhasil melakukan trik tiga putaran.

Ia juga terkenal karena skandal serangan terhadap saingannya, Nancy Kerrigan, yang diatur oleh suaminya, Jeff Gillooly (diperankan Sebastian Stan), tepat sebelum Kejuaraan Figure Skating di Detroit, Amerika Serikat tahun 1994.

Meskipun Tonya Harding tidak terlibat dalam skandal pemukulan kaki saingannya tersebut, reputasi dan karirnya menjadi rusak.

Sepanjang hidupnya, Tonya Harding selalu menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga oleh ibunya dan juga suaminya sendiri.

Tonya juga tidak pernah memiliki orang-orang yang sepenuhnya memberikan dukungan kepadanya.

Sedari kecil, Tonya dieksploitasi oleh ibunya sendiri dan selalu diberi tekanan untuk menjadi yang terbaik, prestasi kecil dan kegagalan tidak ada di kamus hidup ibunya.

Tonya bahkan tidak boleh melanjutkan sekolah karena dipaksa untuk latihan delapan jam setiap harinya oleh sang ibu.

Tumbuh tanpa dukungan dan cinta yang tulus membuat kondisi mental Tonya memburuk seiring bertambahnya usia.

Ditambah tekanan dan ekspektasi dari banyak pihak, membuat Tonya tidak pernah memiliki waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.

Baca Juga: Film Little Miss Sumo: Mengulik Kisah Hiyori Kon Pesumo Perempuan Amatir dari Jepang

Di lapangan es yang dikelilingi penonton, Tonya adalah bintang yang bersinar. Namun di ruang ganti, Tonya adalah seseorang yang rapuh dengan gejala depresi.

Sutradara Craig Gillespie berhasil membawa penonton dalam pengalaman yang memungkinkan kita untuk merasakan sakitnya hati Tonya dan seberapa lelahnya dia.

Scene yang sangat kuat untuk menggambarkan kondisi kesehatan mental Tonya adalah saat dia merias wajahnya di ruang ganti sebelum kompetisi di Olimpiade Norwegia 1994.

Tonya tersenyum di hadapan kaca besar saat ia memakai pemerah wajah. Namun dia kesulitan untuk menarik nafas dan tubuhnya gemetar.

Perlahan-lahan air mata Tonya turun, melunturkan warna merah yang ada di pipinya, dan Tonya pun mengelap air matanya.

Tonya mencoba untuk tersenyum biasa, namun air mata tetap turun. Saat ia berusaha untuk tersenyum dengan menunjukkan gigi, tangisnya semakin tidak tertahankan.

Adegan yang sangat puitis tersebut menunjukkan bahwa kondisi mental Tonya tidak baik-baik saja.

Akting emosional Margot Robbie pun mendukung penggambaran kondisi Tonya yang menderita.

Walau begitu, Tonya tidak pernah mengenal kata istirahat karena tekanan dan doktrin untuk selalu menang yang tertanam sejak kecil.

Di lapangan es, Tonya mengalami serangan panik yang membuatnya hampir didiskualifikasi.

Sayangnya, penonton dan pihak Olimpiade saat itu juga masih belum mementingkan kesehatan mental atletnya.

Akibatnya, Tonya tetap didorong untuk melanjutkan kompetisi dan akhirnya gagal melakukan trik yang menjadi kebangaannya karena tubuhnya tidak stabil.

Baca Juga: Film Keluarga Cemara: Mimpi dan Harapan Anak Menjadi Kekuatan bagi Orang Tua

Kondisi kesehatan mental Tonya dan depresi yang diidap membuatnya menjadi seorang atlet yang cukup keras dan berperilaku semaunya.

Hal tersebut membuat Tonya semakin kehilangan cinta dari para penggemar dan juga pendukungnya.

Bahkan, Ice Skating Association di Amerika Serikat pun melihat Tonya bukanlah perwakilan atlet yang cocok untuk Amerika Serikat karena perilakunya yang buruk.

Di akhir hari, karir Tonya pun harus dirusak oleh keluarganya sendiri, orang-orang yang Tonya kira dapat memberikan dukungan sepenuhnya.

Pada sebuah wawancara yang ditunjukkan di film ini, Tonya merefleksikan masa lalunya.

Ia berandai-andai jika ibunya tidak mendoktrinnya untuk selalu menjadi yang terbaik, jika seandainya Tonya dapat memprioritaskan dirinya sendiri, dan jika  Tonya bisa memilih untuk istirahat, maka semua pasti akan lebih baik.

Bakat dan ambisi Tonya yang luar biasa tetaplah tidak cukup untuk mengantarkannya menjadi atlet legendaris pemenang Olimpiade.

Baca Juga: Film Moxie: Arti Gerakan Women Support Women Sesungguhnya dalam Perjuangan Melawan Sistem Patriarki

Kondisi kesehatan mental juga berperan penting untuk keseimbangan dalam perkembangan diri dan menghadapi berbagai tantangan.

Mundur atau istirahat sejenak dari kompetisi bukan berarti atlet tersebut lemah.

Memprioritaskan diri sendiri dan menyampingkan ambisi bisa menjadi hal terkuat yang dilakukan seorang atlet, mengingat tekanan dan ekspektasi lingkungan untuk selalu menjadi pemenang. (*)