Pernikahan Anak di Bawah Umur Tingkatkan Risiko Stunting, Mengapa?

Saras Bening Sumunarsih - Jumat, 23 Juli 2021
Pasang Cincin pernikahan
Pasang Cincin pernikahan ridzky setiaji

Parapuan.co ­­– Pernikahan anak usia di bawah umur masih marak terjadi di Indonesia. Ada banyak faktor yang memengaruhi pernikahan dini.

Kondisi ekononomi, adat, bahkan kehamilan yang tidak diinginkan sebelum pernikahan bisa menyebabkan pernikahan dini. 

Padahal, anak di bawah umur masih belum mampu menerima pernikahan dan kehamilan baik secara fisik maupun psikisnya.

Meski pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menetapkan batas usia minimal pernikahan yakni 19 tahun, tetapi batas cukup menikah adalah 21 tahun.

Mengapa Demikian?

Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian neonatal, postnatal, bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan pada ibu berusia 20-39 tahun.

Selain itu, kehamilan di bawah usia 21 tahun rentan mengalami keguguran, hipertensi, bayi lahir prematur, berat badan lahir rendah, hingga risiko depresi pasca melahirkan.

Pernikahan Dini Meningkatkan Risiko Stunting

Seperti yang PARAPUAN lansir dari Kompas.com, pernikahan anak di bawah usia 19 tahun terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Hal ini didukung dari data Badan Pusat Statistika (BPS) jika persentase pernikahan dini meningkat dari 2017 yang awalnya 14,28 persen kini menjadi 15,66 persen di tahun 2018.

Bahkan pada masa pandemi seperti saat ini, kasus pernikahan anak di bawah umur juga mengalami peningkatan.

Kementrian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) mencatat 64.000 anak di bawah umur mengajukan dispensasi menikah selama masa pandemi Covid-19.

Baca Juga: Ingin Adakan Acara Pernikahan? Ini Tips Memilih WO agar Tak Tertipu

 

Terkait hal ini, terdapat kaitan antara pernikahan anak di bawah umur dengan peningkatan risiko stunting.

Anak yang masih berusia remaja belum memiliki kondisi psikologis yang matang.

Mereka dinilai belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak secara tepat. Bukan tidak mungkin, dasar pola asuh juga tidak dipahami dengan baik. 

Tak hanya itu, anak yang masih di bawah umur membutuhkan asupan gizi secara maksimal hingga mereka berusia 21 tahun.

Jadi, jika mereka menikah dan hamil di usia belasan tahun, mereka akan berebut gizi dengan bayi dalam kandungannya.

Saat nutrisi ibu hamil tidak mencukupi, maka akan memungkinkan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan berisiko terkena stunting.

Usia Ideal Hamil

Meskipun tidak ada usia yang menjadi acuan untuk hamil, namun dari segi biologis perempuan yang berusia 21 hingga 35 tahun memiliki tingkat kesuburan tinggi dan sel telur sangat berlimpah.

Hamil pada usia tersebut juga dapat meminimalisir beberapa risiko seperti pembukaan jalan lahir yang lambat.

Menurut International Journal of Epidemiology, ibu yang berusia 10 hingga 19 tahun memiliki risiko 14 persen lebih tinggi melahirkan bayi berat badan lahir rendah dibandingkan ibu berusia 20 hingga 24 tahun.

Bahkan anak yang mengalami kehamilan di bawah umur akan berisiko mengalami stres pasca melahirkan.

 

Dengan berbagai fakta di atas, perempuan yang hamil di usia 21 tahun keatas dinilai lebih aman dari berbagai risiko kehamilan di bandingkan mereka yang masih di bawah umur.

Meski usia minimal pernikahan adalah 19 tahun, ada baiknya jika pernikahan dilakukan saat usia di atas 20 tahun berdasarkan pertimbangan biologis. 

(*)

Baca Juga: Ini 4 Hal Penting untuk Merencanakan Acara Pernikahan yang Aman di Tengah Pandemi Covid-19