Penyebab Korban Kekerasan Seksual Anak-Anak Enggan Melapor Kasus ke Polisi

Arintha Widya - Jumat, 25 Juni 2021
Ilustrasi korban pelecehan seksual
Ilustrasi korban pelecehan seksual Freepik

Parapuan.co – Baru-baru ini kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali mencuat, usai dilaporkannya tindakan pemerkosaan yang diduga dilakukan oknum polisi di Polsek.

Kasus pemerkosaan terhadap gadis berusia 16 tahun itu terjadi di Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara.

Hal tersebut seolah membuat kita mempertanyakan peran kepolisian dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Jika muncul ketakutan terhadap aparat akibat kasus semacam itu, lantas kepada siapa lagi kita hendak melapor jika menerima kekerasan seksual?

Terlepas dari itu, ternyata kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, dan remaja juga banyak ditemukan di negara lain.

Bahkan menurut penyelidikan independen di Inggris dan Wales, seperti melansir The Guardian, kasus kekerasan seksual terhadap anak banyak terjadi.

Baca Juga: Oknum Polisi Perkosa Remaja 16 Tahun di Maluku, Kemen PPPA: Berikan Pidana Berat

Ironisnya, polisi setempat justru seringkali menganggap korban yang melapor berbohong kepada aparat.

Berdasarkan penyelidikan independen itu, dilaporkan bahwa tim investigasi telah berbicara dengan 56 korban dan penyintas kekerasan seksual anak antara usia 11-21 tahun.

Dari 56 korban, disebut hanya sedikit sekali yang menyatakan bahwa mereka puas dengan tindakan yang dilakukan kepolisian.

"Banyak korban dan penyintas muda memberi tahu kami tentang tuduhan berbohong, dan satu di antara mereka bahkan disebut 'pelacur kecil'," demikian menurut laporan tim.

"Beberapa korban dan penyintas mengatakan kepada kami bahwa polisi tidak menangani masalah privasi dan kerahasiaan mereka dengan benar."

"Kami mendengar bahwa ini dapat menyebabkan pembalasan dari orang-orang yang terkait dengan pelaku."

"Kami mendengar petugas polisi berseragam mengunjungi anak-anak di sekolah dasar dan rumah keluarga mereka tanpa peringatan sebelumnya," imbuh pertanyaan tersebut.

Sumber: The Guardian
Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh