Sejarah Hari Puisi Nasional yang Tak Luput dari Chairil Anwar

Firdhayanti - Rabu, 28 April 2021
Chairil Anwar, pelopor angkatan 45 yang membawa revolusi baru untuk kesusasteraan Indonesia
Chairil Anwar, pelopor angkatan 45 yang membawa revolusi baru untuk kesusasteraan Indonesia tribunnewswiki.com

Parapuan.co - Hari Puisi Nasional jatuh pada hari ini, tepatnya tanggal 28 April 2021. 

Tanggal 28 April ditetapkan sebagai hari puisi nasional karena bertepatan dengan hari meninggalnya penyair besar tanah air, Chairil Anwar, tepatnya pada 72 tahun lalu. 

Chairil Anwar dikenal sebagai salah satu penyair Indonesia yang berani mendobrak gaya puisi khas Pujangga Baru sehingga menjadi sastrawan angkatan 45 paling berpengaruh. 

Baca Juga: Sindir Amerika Serikat, Priyanka Chopra Minta Pemerintah Berbagi Vaksin Covid-19 dengan India

Atas jasa-jasanya sebagai pelopor Angkatan 45, Pemerintah Republik Indonesia memberikan suatu Anugerah Seni kepada Chairil Anwar.

Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Agustus 1969, No. 071I1969.

Anugerah Seni tersebut diterima oleh putri Chairil,  Evawani Alissa.

Kemudian hari wafatnya Chairil Anwar ditetapkan sebagai Hari Puisi Nasional.

Sosok Chairil Anwar 

Chairil Anwar lahir pada 26 Juli 1922 di Medan dari ayahnya yang bernama Toeloes dan ibunya, Saleha, seperti yang diwartakan Kompas.com. 

Meskipun lahir sebagai anak tunggal, Chairil tak pernah dimanjakan oleh keluarganya. 

Chairil sudah akrab dengan buku-buku sejak kecil.

Baca Juga: KRI Nanggala-402 Dinyatakan Tenggelam, Begini Cara Berkomunikasi dengan Keluarga yang Berduka

Pada saat ia masih mengenyam pendidikan di Hollandsch lnlandsche School (H.l.S) dan MULO, Chairil sudah membaca buku untuk HBS yang pada waktu itu setara dengan tingkat SMA. 

Baru sampai kelas dua,  Chairil keluar dari sekolah berkat tekadnya untuk menjadi seniman yang muncul saat usianya 15 tahun. 

Orang tua Chairil bercerai saat usianya 19 tahun. Ayahnya menikah lagi sehingga Chairil dibesarkan oleh ibunya di Jakarta. 

Minatnya pada sastra mempertemukannya pada sastrawan sastrawan lain, seperti  Subagyo Sastrowardoyo, H.B. Jassin dan banyak lagi. 

Nama Chairil Anwar makin terkenal saat tulisannya dimuat pada Majalah Nisan di tahun 1942. 

Tak lupa puisinya yang juga tak kalah kontroversial dan memberi banyak pengaruh pada kesusasteraan Indonesia, Aku. 

Pada tahun 1945, Chairil Anwar meminta kepada Armyn Pane, redaksi Panji Pustaka agar memuat sajak-sajaknya.

Di antara sajak-sajak itu, ada puisi  Aku yang ditolak Armyn Pane karena dianggap individualistis, terlalu berbau pemujaan pada diri sendiri.

Baca Juga: Jarang Diketahui, Berikut 5 Inovasi yang Mengedepankan Hak Perempuan

HB Jassin menjelaskan penolakan terkait situasi pada saat pendudukan Jepang yang peka terhadap kata-kata yang dapat dituduh mengandung unsur agitatif.

Puisi Aku dianggap dapat menggelorakan semangat masyarakat yang dapat membahayakan Jepang.

Oleh karena itu, Chairil mendatangi Nur Sutan Iskandar, redaksi majalah Timur.

Meski tidak menyetujui sikap Chairil Anwar, Nur Sutan Iskandar setuju memuat sajak Aku dalam majalah Timur tetapi mengubah judulnya menjadi Semangat.

Selama hidupnya, menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 1946 selama 2 tahun.

Hapsah menceraikan Chairil saat ia hamil anaknya dan Chairil, Evawani Allisa, yang lahir pada 6 Agustus 1946. 

Setelah bercerai, Chairil tak produktif berkarya lagi ditambah kesehatan Chairil yang memburuk.

Chairil mengidap Tuberculosis (TBC) sehingga ia Ia bahkan harus dilarikan ke CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) Jakarta.

Chairil meninggal pada 28 April 1949 di umur yang belum genap 27 tahun.

Pelopor Angkatan 45 

Selama hidupnya, Chairil telah menghasilkan 94 tulisan pada periode 1942-1949.

Karya-karyanya termasuk 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli serta 4 prosa terjemahan, sebagaimana yang disebutkan HB Jussin dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan '45 (1956) yang dilansir dari disdik.jabarprov

Salah satu karyanya yang paling berpengaruh adalah puisinya yang berjudul Aku. Puisi ini melukiskan pribadi dan cita-citanya. 

Baca Juga: Pandangan Kartini Soal Poligami yang Menjadi Polemik hingga Saat Ini

Puisi yang ditulis tahun 1943, dimuat di majalah Bintang Timur pada 1945 dan dianggap sebagai puisi yang besar pengaruhnya pada Angkatan 45.

Puisi Aku mencerminkan sifat individualistis, kritis dan juga dinamis dalam berpikir, yang mana sesuai dengan ciri-ciri sastra angkatan '45. 

Sebagaimana dikutip Kompas.com, menurut guru besar Fakultas Sastra Unpad, J.S. Badudu, sifat individualisme Chairil tampak benar dalam puisinya itu, seolah-olah dirinyalah yang menjadi ukuran masyarakat dan dunia luar.

Pelopor Aliran Ekspresionisme

Selain itu, Chairil juga merupakan pelopor aliran ekspresionisme dalam kesusasteraan Indonesia. 

Berdasarkan Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya (2009) karya Sri Sutjianingsih, pada zaman pendudukan Jepang, pemerintah Jepang menaruh minat besar pada kesenian, termasuk kesenian Indonesia.

Pada saat itu, Jepang membuat Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), yang merupakan bujukan halus agar Pusat Kesenian yang diprakasai oleh Soekarno dan beberapa seniman seperti Anjar Asmara dan Kamajaya luluh sehingga berada dibawah Jepang. 

Pusat Kebudayaan berdiri pada 1 April 1943 tetapi baru diresmikan pada 29 April 1943 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Tennoo Heika. 

Awalnya para seniman menerima maksud Jepang secara antusias.

Namun, Chairil menaruh curiga dengan maksud Jepang.

Ia bersama Amal Hamzah dan beberapa kawan menyindir seniman-seniman yang mau membantu Jepang.

Chairil Anwar punya pandangan tersendiri tentang seni sastra dan pandangannya tentang  Angkatan Pujangga Baru yang tidak lagi sesuai dengan situasi zaman di masa itu. 

Chairil menghendaki perubahan bagi generasinya yaitu generasi sesudah perang, dengan meninggalkan kaidah lama  yang sudah ada yang cenderung mendayu-dayu.

Baca Juga: Jarang Diketahui, R.A. Kartini Ternyata Berperan Penting dalam Kesenian Ukir Jepara

Sehingga sajak-sajak Chairil Anwar memberi napas baru bagi kesusasteraan Indonesia. Pada saat itu, bangsa Indonesia sedang di bawah kekuasaan Jepang yang tidak memberikan kebebasan berpikir dalam seni dan budaya.

Tetapi justru saat itulah Chairil Anwar membuat suatu revolusi dalam kesusateraan Indonesia. Ia membawa aliran baru yang disebut ekspresionisme, suatu aliran seni yang menghendaki kedekatan pada sumber asal pikiran dan keinsyafan.

Selamat Hari Puisi Nasional, Kawan Puan! (*)