Alasan Kasus Pemerkosaan Terhadap Laki-Laki Kerap Dianggap Remeh

Alessandra Langit - Sabtu, 24 April 2021
Ilustrasi laki-laki korban pelecehan seksual
Ilustrasi laki-laki korban pelecehan seksual Freepik

Parapuan.co - Pemerkosaan yang terjadi kepada seorang murid sekolah menengah yang baru berusia 16 tahun, FU, menyadarkan kita kembali bahwa pelecehan seksual dapat terjadi kepada siapa pun, tanpa memandang gender.

Kekerasan seksual yang terjadi kepada laki-laki tidak banyak disorot dan tidak menjadi perhatian masyarakat.

Padahal, banyak laki-laki yang menjadi korban, terutama mereka yang masih di bawah umur.

Laki-laki korban pemerkosaan memiliki trauma yang sama besarnya dengan perempuan korban pemerkosaan.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Tak Pandang Gender, Pria Remaja di Probolinggo Jadi Korban Pemerkosaan

Melansir dari Kompas.com, seorang Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menjelaskan, kasus pelecehan atau kekerasan seksual pada laki-laki cenderung terasa memalukan.

Stigma sosial masih menganggap laki-laki lebih unggul secara fisik, psikis, dan sosial.

Hal tersebut yang menyebabkan laki-laki korban kekerasan seksual merasa malu dan tidak mau melaporkan kejadian yang menimpa mereka.

"Tekanan tidak hanya datang dari pengalaman dijahati secara seksual, tetapi juga dari 'kodrat' selaku jenis kelamin unggul," ungkap Reza.

Sebuah jurnal yang berjudul Male Rape: The Silent Victim and the Gender of the Listener yang ditulis oleh Patrizia Riccardi dari Departemen Psikiatri, Mercer University, Georgia pada 2010, melakukan penelitian soal kasus ini.

Berdasarkan penelitian yang mendalami korban pemerkosaan di lingkungan tentara Amerika Serikat tersebut, laki-laki korban pemerkosaan cenderung tidak ingin melaporkan kejadian yang menimpanya.

Rasa malu, penghinaan, pengucilan, dan rasa bersalah kepada diri sendiri merupakan beberapa alasan mengapa laki-laki korban pemerkosaan takut untuk melapor.

Empat pria korban pemerkosaan yang diteliti memiliki salah satu persamaan.

Persamaan tersebut adalah kekhawatiran identitas maskulinnya dipertanyakan, karena mempunyai pengalaman sebagai korban pemerkosaan. 

Baca Juga: Lakukan Ini untuk Menghentikan Pelecehan Seksual saat Berkendara

Salah satu dari mereka mengaku tidak pernah mengungkapkan hal tersebut pada istrinya selama 30 tahun.

Keempat laki-laki tersebut juga lebih memilih untuk berkonsultasi dan menerima bantuan dari psikolog laki-laki.

Mereka merasa tidak nyaman dan takut dihakimi jika mereka menyampaikan cerita ke seorang psikolog perempuan.

Namun saat mereka diminta untuk berkonsultasi, tak satu pun dari 4 korban yang diperiksa mengungkapkan dengan jelas pemerkosaannya kepada psikiater pria yang memeriksanya. 

Mereka tidak merasa nyaman untuk terbuka, namun trauma yang mereka rasakan sangatlah nyata.

Salah satu korban bahkan selama ini dicap sebagai orang yang berpura-pura sakit mental meskipun telah melakukan dua kali percobaan bunuh diri akibat trauma yang dirasanya.

Psikolog menjadi frustasi dengan kerahasiaan pasien. 

Sementara pasien takut pengalaman pahit mereka akan merubah pandangan psikolog laki-laki tersebut terhadap maskulinitas mereka.

Patrizia Riccardi percaya bahwa masyarakat perlu memiliki wawasan soal pemerkosaan yang terjadi pada laki-laki.

Baca Juga: Hannah Al Rashid Suarakan Kasus Pelecehan Seksual di Lokasi Syuting

Patrizia juga membutuhkan penelitian yang lebih lanjut mengenai pilihan laki-laki untuk tidak melaporkan kejadian kekerasan seksual yang menimpanya.

Lembaga profesional diharapkan memberikan akses bantuan yang transparan dan dipercaya bagi laki-laki korban pemerkosaan.

Edukasi kepada masyarakat mengenai hal tersebut juga harus dilakukan agar stigma sosial tidak menjadi batasan untuk korban mendapat bantuan. (*)

 

Sumber: Kompas.com,Journal Male Rape: The Silent Victim and the Gender of the L
Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh